Di luar sana, dunia sedang gaduh. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok tanpa ampun, berjatuhan seperti daun-daun kering yang diterpa badai di penghujung musim. Para pedagang saham berebut tombol jual, tangan mereka gemetar, mata mereka membelalak dengan kecemasan yang terpancar jelas. Ruang-ruang kantor dipenuhi bisikan-bisikan panik, telepon berdering tanpa henti, layar-layar komputer menampilkan grafik merah menyala—simbol kejatuhan yang tak terhindarkan. Para analis mencoba mencari alasan, menyalahkan kondisi ekonomi, kebijakan pemerintah, atau bahkan rumor yang entah datang dari mana.
Namun, di sebuah mobil yang melaju perlahan menembus hujan, ada pemandangan lain yang sungguh bertolak belakang dengan kegaduhan dunia luar. Iliana, putriku tercinta, tertidur pulas di kursi belakang. Rambutnya yang masih basah tergerai lembut, sisa dari air hujan yang tadi membasahi kepalanya. Pipinya yang bulat tampak damai, napasnya teratur, matanya terpejam tanpa beban. Di sampingnya, sebuah boneka berbulu abu-abu setia menemaninya, tergeletak di pangkuannya seperti sahabat sejati yang tak pernah meninggalkannya.
Aku menoleh ke belakang, memperhatikannya lekat-lekat. Ada sesuatu yang begitu agung dalam tidur anak kecil ini—sebuah ketenangan yang bahkan tak bisa dicapai oleh orang-orang dewasa yang setiap hari berjuang mencari kepastian dalam dunia yang penuh ketidakpastian. Tidurnya begitu nyenyak, seolah-olah dunia ini hanya miliknya seorang, seolah-olah tak ada krisis, tak ada inflasi, tak ada kebijakan fiskal yang meresahkan, tak ada orang-orang yang kehilangan miliaran rupiah dalam sekejap mata.
Di momen itu, aku merenung.
Iliana tidak sedang memikirkan harga saham. Tidak sedang memikirkan defisit anggaran negara, ketidakpastian politik, atau rumor pengunduran diri pejabat keuangan. Baginya, dunia bukan tentang angka-angka yang naik turun, bukan tentang kecemasan yang menggerogoti dada. Dunia adalah tentang malam yang sejuk, perjalanan yang nyaman, dan boneka kesayangannya yang selalu ada di sisinya. Dunia adalah tentang percaya bahwa ketika ia lelah dan matanya terpejam, ada seseorang yang menjaganya, memastikan bahwa semua baik-baik saja.
Dan bukankah itu hakikat khusyuk?
Khusyuk bukan sekadar tenang. Khusyuk adalah tenggelam, larut dalam momen tanpa gangguan dunia. Khusyuk adalah kepasrahan sepenuh hati, seperti seorang hamba yang sujud dengan sepenuh jiwa, tanpa memikirkan hiruk-pikuk yang menunggu di belakangnya. Khusyuk adalah ketika dunia bisa runtuh sekalipun, tapi hati tetap utuh. Seperti Iliana yang tertidur lelap di tengah derasnya badai ekonomi. Seperti seorang mukmin yang berdiri dalam shalatnya, tak peduli pada kegaduhan dunia karena hatinya hanya tertuju kepada-Nya.
Aku menarik napas panjang, kembali mengalihkan pandangan ke jalanan yang basah oleh hujan. Lampu-lampu kota berpendar di kaca jendela yang berembun, membentuk siluet-siluet samar yang bergerak perlahan. Aku berpikir, seandainya dunia memiliki ketenangan seperti tidur Iliana, mungkin tak akan ada orang yang hidup dalam ketakutan akan hari esok.
Hari ini, orang-orang panik karena pasar saham hancur. Mungkin besok mereka panik karena hal lain. Dunia memang selalu bergerak dalam siklus ketidakpastian, memberi harapan lalu mencabutnya tanpa peringatan. Tapi Iliana, dengan tidurnya yang khusyuk, mengajarkan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekadar memahami fluktuasi ekonomi: bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari segala hiruk-pikuk dunia.
Dan barangkali, di situlah letak makna kehidupan yang sejati. Bukan tentang siapa yang paling cepat bereaksi terhadap naik-turunnya dunia, tetapi siapa yang tetap khusyuk, tetap tenang, tetap menemukan kehadiran-Nya dalam setiap detik yang berlalu. Seperti Iliana, yang tertidur tanpa rasa khawatir, karena ia tahu, selalu ada tangan yang menjaganya. Seperti seorang hamba yang berserah penuh kepada Tuhannya, yakin bahwa apapun yang terjadi, takdir-Nya selalu yang terbaik.