Hari ini adalah hari terakhir sebelum libur panjang. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap, mengenakan seragam kerja, lalu berangkat ke Kantor, siangnya aku ke Solo Square. Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang tenggat waktu pelaporan SPT Tahunan, aku dan teman-teman bertugas di pusat perbelanjaan untuk asistensi wajib pajak. Ada antrean, ada pertanyaan, ada keluhan, tapi juga ada kepuasan ketika satu per satu masyarakat berhasil melaporkan pajaknya dengan benar.
Setelah tugas selesai, kami berkumpul untuk berfoto bersama. Momen kecil, tapi penuh arti. Kami tersenyum di depan kamera, mencoba menyimpan rasa lega setelah hari-hari yang sibuk. Lalu, untuk merayakan akhir tugas, aku dan Nana memutuskan berbuka puasa di Tongji. Di sana, teh dingin tersaji di meja, makanan berbuka sudah siap, dan obrolan ringan mengalir di antara kami. Sejenak, aku merasa dunia ini baik-baik saja. Tapi dunia tidak pernah benar-benar baik-baik saja.
Setelah berbuka, aku dan Nana menuju masjid. Magrib telah tiba. Kami bergantian salat, karena Iliana tentu tidak bisa ditinggal sendirian. Saat Nana masuk ke dalam masjid, aku menunggu di luar bersama Iliana. Kami duduk di Chandikala Rooftop, tempat yang dirancang menyerupai suasana Santorini, dengan bangku biru dan dinding putih. Iliana duduk di bangku kayu, kakinya menggantung, matanya mengamati lampu-lampu yang bersinar hangat. Wajahnya tenang, tidak terganggu oleh riuhnya dunia di luar sana.
Angin malam bertiup lembut, membawa aroma hujan yang tertahan di langit. Aku menatap Iliana, lalu menatap ke kejauhan. Ada sesuatu yang terasa janggal, tapi aku tidak bisa menjelaskannya. Seolah ada ketenangan yang tidak seharusnya ada. Kami pulang ke rumah. Iliana sudah mengantuk, Nana menyiapkan segala sesuatu untuk esok hari. Aku mengambil ponsel dan mulai membaca berita. Dan di situlah aku melihatnya.
Kekerasan. Gas air mata. Meriam air. Pemukulan. Tangkapan demi tangkapan layar yang berisi laporan tentang demonstran yang dipukul mundur. Tentang mereka yang berlari panik menghindari tembakan gas air mata. Tentang paramedis yang dianiaya ketika sedang berusaha menolong korban. Tentang jurnalis yang dipukul, kamera mereka dihancurkan, kata-kata mereka dibungkam. Ada juga laporan tentang orang-orang yang tiba-tiba kehilangan akses ke akun media sosial mereka setelah polisi mulai menyerbu. Tentang mereka yang ditangkap tanpa alasan jelas. Tentang seorang intel yang ketahuan membawa pistol di tengah massa aksi, dan bagaimana setelah itu terdengar suara tembakan yang memecah malam.
Aku membaca semuanya. Aku membaca dengan perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Malam ini, aku melihat bagaimana uang yang dikumpulkan dengan kepercayaan, dari orang-orang yang bekerja keras, dari usaha kecil yang bertahan di tengah krisis, dari mereka yang membayar dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik—ternyata digunakan untuk membungkam suara-suara yang ingin didengar, aku meminta maaf karena tidak bisa memaafkan hal ini. Aku ingin marah. Aku ingin membantah. Aku ingin menolak kenyataan ini. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku hanya seorang Bapak yang tadi menemani anaknya duduk di bangku biru. Seorang suami yang bergantian salat dengan istrinya.
Aku ingin meminta maaf. Aku ingin meminta maaf kepada mereka yang berlari dalam ketakutan malam ini. Kepada mereka yang terbatuk karena gas air mata. Kepada mereka yang tubuhnya lebam karena pentungan. Kepada mereka yang ditangkap tanpa tahu kapan bisa pulang. Kepada mereka yang kamera dan pena jurnalistiknya dihancurkan. Kepada mereka yang hanya ingin bersuara, tapi dipaksa diam dengan kekerasan. Aku ingin meminta maaf karena aku tidak bisa menerima ini. Malam ini aku mandi, membiarkan air mengalir deras, berharap bisa membersihkan sesuatu yang terasa begitu kotor di dalam hati. Tapi tidak ada yang berubah. Aku masih merasa sesak.
Aku bersiap ke masjid untuk iktikaf. Mencoba mencari ketenangan di antara doa-doa yang melangit. Mencoba menemukan jawaban di antara ayat-ayat yang suci. Tapi bagaimana aku bisa berdamai dengan takdir ini? Bagaimana aku bisa tenang, sementara aku tahu di sudut-sudut kota ada mereka yang berjuang untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih adil, sesuatu yang lebih baik—dan justru diperlakukan seperti musuh? Malam ini aku tidur di masjid seperti malam - malam lainnya, tapi aku tidak benar-benar tidur. Aku hanya memejamkan mata, berharap ketika aku bangun, dunia tidak lagi seperti ini.