Udara pagi menampar wajahku dengan dingin yang sedikit lebih menusuk dari biasanya. Aku mengayuh sepeda dengan laju tenang, membiarkan angin bermain di ujung lengan jaketku yang sedikit tersingkap. Matahari baru mulai merayap dari ufuk timur, memberikan semburat cahaya keemasan yang jatuh di atas hamparan sawah yang luas. Hijau yang menenangkan, tetapi entah mengapa, pagi ini terasa lebih sunyi.
Aku berangkat kepagian, jauh sebelum keramaian biasa menguasai jalanan. Roda sepedaku menyusuri aspal yang mulai berlubang di beberapa bagian, tanda jalan ini telah lama dilalui banyak orang, mungkin oleh mereka yang juga mengayuh harapan di antara kelelahan hidup. Tetapi tak ada waktu untuk merenung terlalu lama. Kantor menunggu, dan hari ini janji akan kesibukan telah terpatri sejak awal.
Sejak aku melangkah masuk ke ruangan, ritme cepat kehidupan langsung menelanku bulat-bulat. Tidak ada basa-basi, tidak ada transisi perlahan—semuanya berjalan dengan kecepatan penuh.
Ulung mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Matanya agak sayu, kelopak yang biasanya tegas kini sedikit turun, seakan menahan beban yang tak kasatmata. Bahunya sedikit merosot ke bawah, seperti seorang prajurit yang sudah terlalu lama berdiri di medan tempur tanpa sempat mengistirahatkan senjatanya. Sesekali, ia batuk, suara seraknya terdengar di antara deretan keyboard yang terus-menerus ditekan, lalu diikuti dengan satu-dua kali bersin yang buru-buru ditutup dengan tisu. Hidungnya mulai memerah, napasnya terdengar lebih berat, tetapi tangannya tak berhenti bekerja. Ia menatap layar monitor dengan tatapan yang tak lagi setajam biasanya, tetapi ia tetap bertahan, mengerjakan satu demi satu tugas yang menumpuk, seolah sistem dalam dirinya telah diprogram untuk tidak mengenal kata menyerah.
Ginanjar, seperti biasa, penuh semangat, energinya seakan tak pernah habis meskipun hari-hari berlalu dengan ritme yang semakin menggila. Ia tetap gesit, gesekan kursinya dengan lantai terdengar berulang kali, berpindah dari satu meja ke meja lain, dari satu dokumen ke dokumen berikutnya. Namun, di antara kesibukan itu, sesekali aku menangkapnya melamun, pandangannya kosong menatap layar, seolah pikirannya sedang mengembara ke tempat lain yang tak bisa diikuti siapa pun. Entah apa yang sedang berkecamuk di benaknya, mungkin ada sesuatu yang mengusik pikirannya, sesuatu yang hanya dia sendiri yang tahu. Atau mungkin justru karena terlalu banyak yang harus dikerjakan, begitu banyak tugas bertumpuk, sehingga ia bingung hendak memulai dari mana. Dan di sela lamunannya yang hanya berlangsung beberapa detik itu, tiba-tiba ia kembali hidup, kembali bersemangat, seperti mesin yang sempat tersendat lalu menyala lagi, siap berlari mengejar daftar tugas yang tak kunjung habis.
Iqlima, ia seperti memiliki tenaga yang tidak ada habisnya, seakan-akan dalam dirinya mengalir dua kali lipat energi dibandingkan manusia pada umumnya. Dalam satu waktu, ia berdiri di antara para relawan pajak, mengarahkan mereka dengan ketelitian luar biasa, memastikan setiap konten yang dibuat memenuhi standar yang sudah tertanam kuat dalam kepalanya. Baginya, konten media sosial bukan sekadar unggahan biasa, tapi sebuah karya yang harus dibuat dengan cermat, menarik, informatif, dan tentu saja, berkualitas tinggi. Ia tidak segan-segan mengoreksi, memberi saran, bahkan turun tangan langsung jika dirasa ada yang kurang sempurna. Dan di waktu lain, saat orang lain mungkin sudah merasa cukup dengan satu tanggung jawab, ia masih sempat beralih ke tugas-tugasnya sendiri yang berlapis-lapis. Tidak ada keluhan yang keluar dari bibirnya, hanya gerakan cepat, tatapan fokus, dan keseriusan yang tak tergoyahkan.
Aku sendiri? Aku terseret dalam arus kesibukan, tetapi di sela-sela itu, ada satu hal yang terus berputar di benakku. Semua ini, semua kesibukan ini, semua waktu yang terkuras—apakah akan menjadi maghfirah? Apakah ada pengampunan yang terselip di antara usaha ini?
Untungnya hari ini kami kedatangan Pak Oentarto, sebagai penyemangat, seorang bapak yang meskipun telah memasuki masa pensiun beberapa bulan yang lalu sebagai Kepala Pusdiklat Bea dan Cukai, tetap saja jadwalnya lebih padat dibandingkan kami yang masih aktif bekerja. Jika orang-orang membayangkan pensiun sebagai masa untuk bersantai, menikmati hari-hari dengan tenang, maka Pak Oentarto adalah pengecualian yang nyata. Kesibukannya tidak berkurang sedikit pun, justru semakin menjadi-jadi.
Beliau datang dengan senyum khasnya, ramah seperti biasa, menyapa satu per satu dengan hangat, seakan tak ada jarak antara mantan pejabat dan para pegawai yang lebih muda. Kedatangannya kali ini bukan sekadar kunjungan biasa, melainkan untuk berkonsultasi mengenai aplikasi Coretax. Meskipun sudah pensiun, ketertarikannya terhadap perkembangan teknologi perpajakan tetap tinggi, ia ingin tetap memahami dan mengikuti perubahan yang terjadi. Dengan antusias, ia bertanya dan mendiskusikan berbagai hal, sesekali menuliskan catatan kecil di buku yang selalu dibawanya.
Waktu berlalu begitu cepat, dan sebelum sempat berlama-lama berbincang, siang harinya beliau sudah harus bersiap untuk berangkat ke Malang. Ya, pensiun tak menghalanginya untuk tetap berbagi ilmu, dan kali ini ia dijadwalkan mengajar di sana. Karena waktu yang terbatas, aku pun menawarkan diri untuk mengantarnya ke stasiun, agar ia tidak perlu repot mencari transportasi lain. Rasanya ada kebanggaan tersendiri bisa membantu seseorang seperti Pak Oentarto, sosok yang penuh dedikasi, semangat, dan tak kenal lelah dalam berbagi ilmu, bahkan setelah masa tugas resminya berakhir.
Hari ini kami bekerja hampir tanpa jeda, tanpa benar-benar menyadari waktu sudah melesat begitu jauh. Tahu-tahu, matahari sudah tenggelam, menyisakan langit yang gelap di luar jendela kantor. Aku pulang setelah magrib, tubuh terasa berat, tetapi pikiran masih penuh dengan daftar pekerjaan yang belum rampung.
Sebelum perjalanan pulang, aku berbukan puasa sebentar, dengan segelas teh tarik Jodi dan beberapa jajanan lainnya, titip ke Iqlima yang katanya sore tadi pergi ambil video Tugu Keris.
Dalam hitungan detik teh tarik Jodi ku habis, bukan karena haus juga, tapi lebih kepada mencari sesuatu yang bisa menjadi jeda kecil dalam hari yang panjang ini. Sampai di rumah, aku langsung salat, membiarkan air wudu menghapus lelah yang menempel di tubuh dan pikiran.
Mandi adalah ritual lain yang terasa lebih dari sekadar membersihkan diri. Seperti membuang semua debu yang menempel dari dunia luar, memberikan kesegaran yang mungkin lebih bersifat mental daripada fisik. Tetapi ada satu hal lagi yang masih tertinggal di benakku—Al-Qur’an yang belum kubaca.
Hari ini seharusnya aku sudah sampai di halaman 220, tapi sampai pukul 11 malam ini, aku baru mencapai halaman 156. Ada perasaan tertinggal, seperti seorang pelari yang menyadari garis akhir masih terlalu jauh. Tapi bukankah perjalanan menuju maghfirah memang seperti ini? Tidak selalu sesuai target, tidak selalu sempurna, tetapi yang penting tetap melangkah.
Di luar, malam semakin larut. Jalanan yang tadi kulewati dengan sepeda pasti sudah benar-benar sepi sekarang, hanya menyisakan suara angin yang berbisik di antara dedaunan. Aku menarik napas dalam, menatap lembaran Al-Qur’an yang masih terbuka di depanku. Ada kelelahan, ada ketertinggalan, tetapi di antara semua itu, ada harapan bahwa setiap usaha kecil ini dihitung, bahwa setiap ayat yang kubaca tetap memiliki arti.
Maka, aku kembali mengayuh perjalanan ini. Bukan lagi dengan roda sepeda di jalanan desa, tetapi dengan kalimat-kalimat yang lebih abadi—ayat demi ayat yang mungkin, semoga, bisa menjadi maghfirah.