Rahmat

Hujan turun dengan ritme yang pelan, seperti seseorang yang sedang menulis puisi di atas genting rumah-rumah tua. Langit pekat, dan udara yang menyelinap masuk dari celah jendela membawa aroma tanah basah yang sejuk. Aku duduk di ruang tamu, sendiri, dengan segelas teh yang dingin. Cahaya dari layar televisi menjadi satu-satunya sumber terang di ruangan itu, membentuk bayangan-bayangan samar di dinding.

Di layar kaca, seorang lelaki dengan rambut gondrong tersenyum. Senyum yang entah kenapa selalu saja menenangkan. Cak Nun berbicara dengan nada khasnya, santai tapi penuh makna. Kata-katanya mengalir seperti sungai yang membawa batu-batu kecil pemahaman, menghantam dasar kesadaran yang selama ini mungkin terlalu dangkal.

Aku diam. Mendengar. Memahami.

Rahmat itu ada pada apa yang sering kita anggap sepele. Pada napas yang tak pernah kita hitung jumlahnya. Pada jantung yang berdetak tanpa diminta. Pada makanan yang kita kunyah tanpa berpikir dari mana asalnya. Rahmat Allah tak selalu berbentuk emas atau keberuntungan besar yang membuat manusia melompat kegirangan. Ia hadir dalam bentuk sederhana—anak kecil yang tertawa tanpa alasan, angin yang berembus pelan saat siang terik, atau bahkan kemampuan kita untuk tertawa di tengah kesulitan.

Aku menatap layar dengan lebih dalam. Kata-kata itu mengingatkanku pada hari-hari di mana aku mengeluh karena merasa hidup ini tak berjalan sesuai keinginanku. Aku mengingat pagi-pagi yang berlalu begitu saja tanpa syukur, siang-siang yang penuh rutinitas tanpa jeda untuk berpikir, dan malam-malam yang seringkali dihabiskan dengan menyesali apa yang kurang, bukan mensyukuri apa yang ada.

Aku teringat Iliana. Anakku, yang jika menginginkan sesuatu, akan meminta dengan yakin bahwa bapaknya akan memberinya. Tangan kecilnya terulur, matanya berbinar penuh harapan. Tidak ada ragu, tidak ada gelisah. Barangkali, begitulah seharusnya seorang hamba menaruh harapan pada Tuhannya—tanpa sedikit pun khawatir bahwa ia akan pulang dengan tangan kosong.

Cak Nun masih berbicara di layar. Tentang bagaimana manusia sering kali sibuk mencari sesuatu yang sudah ada di genggamannya. Seperti orang yang mencari kacamatanya ke seluruh penjuru rumah, padahal kacamatanya bertengger di kepala. Begitulah manusia dalam mencari rahmat Tuhan. Ia ada di mana-mana, tetapi kita sering lupa untuk melihatnya.

Aku menghela napas. Meresapi setiap kata yang terucap. Hujan di luar semakin pelan, seakan memberi ruang bagi pikiranku untuk berlayar lebih jauh. Dalam hati, aku berjanji—mulai besok, atau mungkin mulai malam ini juga—aku akan lebih sering melihat, lebih sering merasakan, lebih sering mengakui bahwa rahmat Tuhan ada dalam setiap detik kehidupanku.

Aku tersenyum kecil, menyesap teh yang dingin. Tapi entah kenapa, rasanya lebih manis dari biasanya.

Aku masih duduk di depan televisi, meskipun siaran itu sudah selesai. Layar kini gelap, hanya menyisakan pantulan samar ruangan di sekelilingku. Tapi kata-kata Cak Nun masih bergema di kepalaku.

Sudah lama aku tak mendengar kabarnya. Terakhir kali, berita tentang kesehatannya menyebar—kabar yang membuat hati para pecintanya sedikit gamang. Cak Nun, yang selama ini suaranya mengalir jernih bagai mata air bagi jiwa-jiwa kering, tiba-tiba sunyi. Ia yang selalu berbicara tentang kehidupan, tentang Tuhan, tentang manusia, kini justru menjadi cerita yang dibicarakan banyak orang.

Aku membayangkan beliau, seorang lelaki yang sepanjang hidupnya menyebarkan hikmah, kini mungkin sedang duduk di sebuah kamar dengan dinding putih, mendengarkan detak jam yang tak pernah berhenti. Seorang lelaki yang selama ini mengisi banyak hati dengan pencerahan, kini mungkin sedang bergelut dengan kesunyian tubuhnya sendiri.

Aku ingin percaya bahwa rahmat Allah sedang melingkupinya. Bahwa di setiap tarikan napasnya, ada keberkahan yang tak terlihat oleh mata manusia. Aku ingin percaya bahwa sakit yang ia alami bukanlah tanda penderitaan, melainkan ujian kecil yang akan mengangkat derajatnya lebih tinggi. Bukankah beliau sendiri yang selalu berkata bahwa setiap takdir punya rahasia?

Aku menatap layar televisi yang hitam, berharap ada kabar baik yang tiba-tiba muncul. Tapi tidak ada. Dunia terasa lebih sepi tanpa kata-katanya. Seperti kehilangan sebuah bintang yang biasa menjadi petunjuk di langit malam.

Dalam hati, aku berdoa. Semoga Cak Nun segera pulih. Semoga ia kembali dengan senyum khasnya, dengan tawa kecil yang sering mengiringi setiap ucapannya. Semoga ia kembali mengajarkan kita tentang kehidupan, tentang Tuhan, tentang rahmat yang sering kali kita abaikan.

Di luar sana, hujan sudah reda. Jalanan basah, udara segar. Aku merasa ada sesuatu yang menyelinap di hatiku—sebuah harapan bahwa esok, atau lusa, atau kapan pun Tuhan mengizinkan, kita akan kembali mendengar suara Cak Nun seperti sedia kala.