Ridha

Hari ini aku berangkat kerja masih menggunakan mobil. Ban sepedaku masih kempis, belum sempat kutambal. Waktu rasanya selalu berjalan lebih cepat dari yang kuinginkan, melesat tanpa ampun, meninggalkanku dengan daftar tugas yang tak kunjung habis.

Di kantor, tugasku sederhana, tapi lumayan menyita waktu: menjawab pesan yang masuk ke WhatsApp kantor. Pertanyaan wajib pajak berdatangan seperti air bah—beberapa ramah, beberapa penuh kekhawatiran, dan ada juga yang meledak-ledak marah. Aku menarik napas panjang, berusaha menjawab semuanya dengan tenang. Dalam hati, aku berpikir, betapa kerasnya hidup ini. Orang-orang bekerja mati-matian, membanting tulang, lalu mereka bertemu dengan pajak, sesuatu yang harus mereka bayar meskipun mungkin mereka berharap tidak perlu melakukannya, tapi demi negara, demi cinta mereka kepada negara mereka melakukannya.

Hari berlalu tanpa terasa. Matahari perlahan turun di ufuk barat, langit berubah warna menjadi jingga keemasan. Jarum jam menunjuk pukul lima sore, tapi aku masih duduk di meja kerja, menyelesaikan apa yang bisa kuselesaikan sebelum waktu berbuka tiba. Hari ini kami ada jadwal buka bersama satu bidang P2 Humas.

Kami berangkat bersama. Ulung menyetir. Kami semua percaya pada Google Maps. Sebuah kesalahan. Jalanan membawa kami berputar-putar, seperti hidup itu sendiri—kadang lurus, kadang membingungkan, sering kali membuat kita merasa tersesat. Aku hanya bisa tertawa kecil, menerima kenyataan bahwa bahkan teknologi yang canggih pun bisa salah, atau benar secara aturan, tapi salah secara waktu. Bukankah begitu pula manusia?

Kami akhirnya sampai di tempat berbuka, Kampung Kecil di Jalan Walter Monginsidi, Surakarta. Waktu menunjukkan pukul 17.34. Kami turun dari mobil, berjalan melewati pondok kayu kecil. Suasana di sana syahdu. Ada kolam air di bawah, tapi tidak ada ikan-ikan berenang malas yang sesekali menciptakan riak kecil yang berkilau diterpa cahaya sore. Udara lembap, membawa aroma makanan yang mengepul dari dapur. Lampu-lampu kecil dinyalakan di beberapa sudut ruangan, menciptakan cahaya temaram yang hangat.

Kami duduk di meja yang telah disiapkan. Sajian berbuka dihidangkan. Aku menyeruput teh hangat, manis, merasakan kehangatan menjalar di tenggorokanku, dan dalam diam aku merasa bersyukur. Betapa sederhana kebahagiaan itu.

Malam itu, suasana di Kampung Kecil terasa magis. Lampu-lampu gantung dari anyaman bambu menyala temaram, menggantung rendah seperti kunang-kunang raksasa yang enggan pergi. Udara membawa aroma masakan yang mengepul dari dapur, bercampur dengan tawa yang pecah sesekali dari meja-meja makan.

Kami duduk melingkar di sebuah meja kayu yang dipenuhi hidangan. Ada piring-piring besar berisi ikan bakar yang aromanya menguar, mengundang selera bahkan sebelum disantap. Ada sambal yang merah menyala, mengintimidasi namun menggoda, dan ada gelas-gelas teh manis yang masih berembun, menunggu disentuh.

Di sekeliling meja, wajah-wajah yang familiar tampak berseri. Ada yang tertawa lepas, ada yang sibuk mengobrol, ada yang diam menikmati suasana, seolah ingin merekam setiap detik dalam ingatan.

Pak Timon duduk di ujung meja, menatap layar ponselnya dengan ekspresi yang sulit ditebak—barangkali mengabadikan momen, barangkali membaca sesuatu yang tak ingin ia bagikan. Yang lain sibuk merapikan kerudungnya, memastikan segala sesuatu tampak sempurna untuk sebuah foto kenangan.

Di luar, langit mulai gelap. Cahaya dari lampu jalan di kejauhan berpendar, memantul di permukaan kolam yang tenang di bawah. Angin malam berhembus pelan, membelai dedaunan, membawa bisikan tentang betapa cepatnya waktu berlalu.

Malam itu, kami bukan sekadar teman kerja. Kami adalah sekelompok manusia yang, dalam hiruk-pikuk pekerjaan dan rutinitas, akhirnya berhenti sejenak untuk menikmati hidup. Untuk berbagi cerita. Untuk tertawa bersama. Untuk mengingat bahwa di balik angka-angka dan laporan yang tiada habisnya, ada kebersamaan yang layak dirayakan.

Dan malam pun berjalan, perlahan-lahan, seperti ingin memberi kami sedikit lebih banyak waktu.

Setelah berbuka, kami salat. Masjid kecil di tempat itu penuh. Kami mengantre, menunggu giliran, berdesakan dalam keheningan. Setelahnya, kami kembali ke meja, berbincang ringan, tertawa, membicarakan pekerjaan, kehidupan, dan hal-hal sepele yang biasanya luput dari perhatian.

Namun, ada satu hal yang masih kurang. Minuman pesanan kami belum keluar. Kami menunggu, berbincang lagi, menunggu lagi. Aku melirik jam tangan. Waktu terus berjalan. Dunia tidak menunggu siapa pun.

Akhirnya, setelah semuanya selesai, aku mengantar Bu Herlin dan Bu Winarsih ke Stasiun Jebres. Kota sudah gelap, lampu-lampu jalan menyala temaram, bayangan kendaraan berkelebat cepat di kaca mobil. Setelah itu, aku kembali ke kantor.

Pukul delapan malam, aku pulang ke rumah. Di rumah, Iliana menunggu. Aku tersenyum melihatnya. Ia menyambutku dengan tawa kecil, matanya berbinar-binar. Aku bermain dengannya sebentar, merasakan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Lalu kabar itu datang.

Abang. Seseorang telah berpulang. Grup WhatsApp kantor geger. Notifikasi berdentang tanpa henti. Ucapan duka cita membanjiri layar. Beberapa rekan kerja menitikkan air mata. Beberapa hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Seorang pegawai gugur dalam tugas. Mereka bilang, “Dia bekerja keras hingga akhir.”

Namun, dunia ini berjalan dengan cara yang kejam. Besok pagi, kantor tetap buka. Kursinya akan diduduki pegawai lain. Meja tempat ia bekerja akan berubah tatanannya. Tugas yang ia tinggalkan akan segera diselesaikan orang lain.

Nama yang hari ini disebut-sebut dengan penuh duka, perlahan akan pudar. Suara tawanya, yang dulu memenuhi ruangan, akan hilang dari ingatan.

Tapi ada tempat di mana ia tidak akan tergantikan. Di rumahnya, ada seorang istri yang menanti kepulangannya, tapi yang datang justru kabar duka. Ada seorang anak yang mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti, tapi suatu hari akan bertanya, “Kenapa Bapak tidak pernah pulang?”

Ada orang tua yang kehilangan alasan untuk berharap. Dunia akan melupakannya. Kantor akan melupakannya. Tapi di rumahnya, di tempat ia dulu tertawa, berbagi cerita, menciptakan kenangan—ia tetap ada. Dalam doa. Dalam air mata yang jatuh tanpa diminta. Dalam rindu yang tak akan pernah bisa dituntaskan.

Begitulah nasib mereka yang bekerja untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Mereka bertahan dalam senyap, pergi tanpa perlawanan, dan dunia terus berjalan seakan mereka tak pernah ada.

Namun, di satu sudut kecil dunia, di rumah yang dulu menjadi tempatnya pulang, ada yang kehilangan yang tak tergantikan. Ada yang merindukan yang tak kembali. Dan di situlah, ia akan tetap hidup.

Aku meletakkan ponsel. Lalu berpikir. Kita semua mengejar sesuatu dalam hidup ini—karier, jabatan, angka-angka di layar komputer. Kita berusaha menjadi pegawai terbaik, tapi sering lupa menjadi suami terbaik, istri terbaik, anak terbaik, orang tua terbaik.

Apa gunanya semua ini jika akhirnya kita hanya dikenang sebentar, lalu dilupakan? Bekerjalah, tapi jangan lupa hidup. Hiduplah, tapi jangan lupa mencintai. Jangan sampai kita terlalu sibuk mengejar rezeki, sampai lupa bahwa keluarga adalah rezeki itu sendiri.

Lihatlah dia yang telah pergi itu. Hari ini, namanya masih disebut. Tapi besok? Minggu depan? Tahun depan? Waktu akan menghapus jejaknya dari dunia ini. Namun di rumahnya, ada kursi kosong di meja makan. Ada sepatu yang tak lagi dipakai. Ada seorang istri yang setiap malam masih memandangi pintu, berharap keajaiban terjadi.

Kita semua akan sampai di titik itu. Cepat atau lambat. Maka, sebelum hari itu tiba, pulanglah lebih awal. Habiskan waktu bersama keluarga. Ciptakan kenangan yang tak bisa dihapus oleh waktu. Karena dunia ini akan terus berjalan tanpa kita, tapi bagi orang yang mencintai kita, kehilangan itu adalah selamanya.

Aku menarik napas panjang. Malam semakin larut. Aku membuka mushaf, membaca Al-Qur’an semampuku. Ayat-ayatnya meresap ke dalam hati, mengalir pelan seperti air yang menyejukkan.

Setelahnya, aku berbaring. Merenungkan hidup. Mengenang mereka yang telah pergi. Dan perlahan, aku tertidur, tenggelam dalam ketenangan yang sulit dijelaskan.