Sabar

Sabar, kata orang-orang tua, adalah kunci hidup. Tapi mengapa kunci itu terasa begitu sulit ditemukan?

Hari ini, matahari seperti enggan beranjak. Waktu berjalan lambat, nyaris berhenti. Aku melihat jam, lalu melihatnya lagi beberapa menit kemudian, dan kecewa karena jarumnya seolah hanya bergeser seujung kuku. Perut mulai berbisik, tenggorokan kering, dan tiba-tiba semua orang di sekitarku tampak memiliki kesabaran yang lebih panjang daripada aku.

Di luar, jalanan masih ramai. Orang-orang berlalu lalang dengan berbagai urusan. Penjual gorengan di ujung gang sibuk menata dagangannya, meskipun ia sendiri belum bisa menyentuh makanan yang dijualnya. Seorang ibu berjalan sambil menggandeng anaknya yang terus bertanya, “Berbukanya kapan, Bu?” dan ibunya menjawab dengan suara lembut, “Sebentar lagi.”, meskipun mereka berdua tahu bahwa “sebentar” masih berarti berjam-jam lagi.

Sabar, kata mereka, adalah bagian dari puasa. Tapi, mengapa rasanya lebih sulit daripada menahan lapar dan haus?

Aku mencoba belajar dari orang-orang yang telah lebih lama berjalan di jalan ini. Dari seorang bapak tua yang mengayuh becaknya di bawah terik matahari, tetap tersenyum meskipun seharian belum ada penumpang. Dari seorang guru yang dengan tenang menjawab pertanyaan yang sama berulang kali dari murid-muridnya. Dari seseorang yang tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, meskipun ia punya seribu alasan untuk melakukannya.

Sabar bukan hanya soal menunggu waktu berbuka. Ia lebih dari sekadar menahan diri dari marah, lebih dari sekadar bertahan ketika keadaan tidak sesuai keinginan. Sabar adalah perjalanan panjang tanpa tahu di mana ujungnya, tapi tetap melangkah dengan keyakinan bahwa setiap langkah akan membawa kita lebih dekat pada sesuatu yang lebih baik.

Ramadhan mengajarkan itu—tentang menahan, tentang mengendalikan, tentang percaya bahwa ada kebaikan di balik setiap kesabaran. Mungkin inilah sebabnya puasa begitu istimewa. Ia bukan hanya soal lapar dan dahaga, tapi juga soal melatih hati agar lebih kuat, agar lebih lapang, agar tidak mudah retak oleh hal-hal kecil.

Sabar itu seperti menanam pohon. Awalnya, hanya ada benih kecil yang nyaris tak terlihat. Setiap hari disiram, diberi pupuk, dijaga dari hama. Minggu-minggu berlalu, lalu bulan, lalu tahun, dan pohon itu belum juga berbuah. Tapi orang yang sabar akan terus merawatnya, tanpa bertanya kapan hasilnya akan datang. Sampai akhirnya, di suatu pagi yang biasa saja, pohon itu tiba-tiba penuh dengan buah yang ranum, seolah membalas semua waktu yang telah dihabiskan untuk merawatnya.

Mungkin begitu juga dengan sabar. Ia bukan tentang menunggu hasil secepat mungkin, melainkan tentang terus berusaha meskipun hasilnya belum terlihat.

Dan pada akhirnya, setiap kesabaran akan menemukan ujungnya. Seperti senja yang akhirnya datang setelah hari yang panjang, seperti suara adzan yang pada akhirnya berkumandang setelah kita menunggu dengan segenap hati.

Dan pada saat itu, kita akan mengerti bahwa sabar memang berat—tapi ia selalu berakhir dengan manis.