Sedekah

Di hadapanku, layar laptop menyala, menampilkan laman yang bagi sebagian orang adalah labirin angka dan kewajiban. Aku duduk di Solo Square, membantu mereka yang datang dengan wajah penuh tanda tanya, jari-jari mereka gemetar di atas keyboard, seakan takut salah ketik bisa membuat dunia runtuh.

Aku mengenali ekspresi itu. Wajah yang tegang, alis yang mengerut, mata yang penuh keraguan. Mereka yang datang membawa berbagai pertanyaan, dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit. Ada yang sekadar lupa kata sandi, ada yang baru pertama kali melaporkan pajaknya, ada yang takut salah, ada pula yang diam-diam berharap bisa menghindar. Tetapi, pada akhirnya, mereka semua duduk di hadapanku, menunggu penjelasan, berharap ada jalan keluar dari kebingungan mereka.

Ini adalah pajak—sebuah kata yang sering kali lebih ditakuti daripada kemacetan di pagi hari. Sebagian orang menganggapnya beban, sebagian lagi melihatnya sebagai kewajiban yang tak bisa dihindari. Namun, di balik angka-angka yang tertulis, di balik formulir yang harus diisi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih bermakna, lebih ajaib. Ada jalan-jalan yang membentang, ada anak-anak yang berlari di halaman sekolah, ada rumah sakit yang berdiri tegak melayani tanpa membeda-bedakan siapa yang datang. Ada jembatan yang menghubungkan desa-desa terpencil, ada lampu-lampu jalan yang menerangi kota di malam hari, ada beasiswa untuk mereka yang ingin belajar tetapi tak punya biaya.

Dan di tengah-tengah semua ini, aku duduk di sini, menjadi bagian dari sistem yang memastikan semuanya berjalan. Aku bukan pejabat tinggi, bukan pembuat kebijakan. Aku hanya seseorang yang membantu mereka memahami, yang menjelaskan aturan demi aturan, yang memastikan bahwa kewajiban ini tidak terasa seberat yang mereka kira.

Lalu, aku teringat pada sedekah. Dua hal yang tampaknya berbeda, tetapi mungkin mereka bersaudara dalam sunyi. Pajak adalah kewajiban, sedekah adalah keikhlasan. Pajak dihitung dalam sistem, sedekah dihitung oleh langit. Pajak kadang dibayar dengan terpaksa kadang sukarela, sedekah mengalir bergembira ria tanpa diminta. Tapi, bukankah keduanya bermuara pada satu hal? Kebaikan bersama.

Ada sesuatu yang indah dalam gagasan ini. Pajak adalah bentuk kepedulian yang terstruktur, cara yang paling pasti agar setiap orang memberi kontribusi untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Mungkin tidak semua orang bisa menyisihkan uangnya untuk bersedekah, mungkin tidak semua orang bisa langsung membantu mereka yang kesulitan. Tetapi pajak memastikan bahwa setiap orang berkontribusi, entah mereka sadar atau tidak.

Aku tersenyum kecil melihat seseorang yang baru saja menyelesaikan laporannya. Wajahnya lega, seperti baru saja melepaskan beban yang menempel di pundaknya. Aku ingin berkata kepadanya bahwa yang baru saja ia lakukan bukan sekadar formalitas. Itu adalah bentuk paling nyata dari kepedulian. Mungkin ia tidak melihat langsung hasilnya, mungkin ia tidak tahu ke mana setiap rupiah itu mengalir. Tapi di suatu tempat, ada seseorang yang mendapatkan manfaat dari apa yang ia bayarkan hari ini.

Di sudut Solo Square ini, aku merasa bahwa pajak, sedekah, dan kebaikan adalah satu tarikan napas yang sama. Sesuatu yang menghubungkan manusia satu dengan yang lain, sesuatu yang, pada akhirnya, membuat dunia ini berjalan dengan lebih baik.