Sederhana

Di bawah cahaya lampu putih yang dingin, di lantai yang begitu bersih hingga hampir bisa mencerminkan masa lalu, Iliana berdiri seperti seorang tokoh kecil dalam novel yang belum ditulis. Kacamata hijaunya terlalu besar untuk wajahnya yang mungil, tetapi di situlah letak pesonanya—kesan bahwa dunia ini mungkin juga terlalu besar, terlalu rumit, terlalu sulit untuk seorang anak yang hanya ingin melihatnya dalam warna-warna yang lebih lembut.

Di tangannya, boneka merah muda tergenggam erat, seakan menjadi jimat yang melindunginya dari absurditas toko pakaian dan kebisingan orang dewasa yang sibuk memilih kain untuk menutupi tubuh mereka, seakan-akan pakaian bisa lebih penting daripada kata-kata yang mereka ucapkan atau perbuatan yang mereka lakukan. Di belakangnya, gulungan kain bersandar seperti pilar-pilar di sebuah kota kuno yang perlahan-lahan akan dilupakan.

Hari ini, aku bangun siang sekali, setelah sahur dan sholat subuh, seperti kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, seakan tidur setelah subuh adalah hak yang tak perlu dipertanyakan. Aku mandi, lalu bersiap untuk sholat Jumat, di mana kata-kata khatib dengan bahasa Arab melayang di udara seperti burung-burung yang kehilangan arah. 

Setelahnya, aku menemani Nana ke Gavin Store di Kartasura, menyaksikan bagaimana ia dengan teliti memilih baju lebaran, seakan kain-kain itu memiliki kemampuan untuk menyimpan doa-doa dan kenangan yang akan datang, yang pada akhirnya tak ia beli satupun, entahlah. Sebelum itu, kami mampir membeli odeng di Lawson untuk Iliana—sebuah kebiasaan kecil yang tampaknya sepele, tetapi di situlah letak kehidupan yang sesungguhnya: di antara kesukaan-kesukaan sederhana yang membentuk kebahagiaan tanpa kita sadari.

Dan di lantai empat, di antara rak-rak mainan dan kain-kain yang disusun dengan kesempurnaan yang hampir menakutkan, aku dan Iliana bermain. Tidak ada yang luar biasa dari itu—hanya seorang bapak dan anaknya, menunggu waktu berlalu. Tapi justru dalam kesederhanaan itu, aku menemukan sesuatu yang lebih besar dari hidup itu sendiri. Lalu terngiang lirik lagu Teruntung Mia karya Nuh:

“Di antara senyumanmu, dan hujan di hari itu, aku tak tahu mana yang lebih indah.”

Iliana tersenyum di balik kacamata hijaunya, dan di luar, hujan turun tipis di sore yang tenang. Aku tidak tahu mana yang lebih indah, seperti yang dinyanyikan dalam lagu itu. Mungkin, seperti hujan yang selalu datang dengan cara tak terduga, kebahagiaan juga begitu—hadir dalam bentuk yang sederhana, tetapi meninggalkan bekas yang mendalam.

Tetapi dunia di luar toko ini tidak sesederhana itu. Ramadhan hampir usai, dan aku menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan tetap #CabutUUTNI dan #TolakRUUPolri. Ini mungkin terdengar tidak lazim bagi mereka yang menganggap Ramadhan hanya soal ibadah individual—soal puasa, shalat, zakat, dan doa-doa panjang. Tapi bagiku, bukankah keadilan juga bagian dari ibadah? Bukankah memperjuangkan hak juga bagian dari ketakwaan?

Di antara sahur dan tarawih, aku membaca berita. Tentang mahasiswa yang dipukul, tentang jurnalis yang diintimidasi, tentang rakyat yang dipaksa diam. Gas air mata menjadi aroma yang lebih akrab daripada bau tanah basah setelah hujan. Teriakan protes lebih sering terdengar daripada tadarus di masjid-masjid besar. Ada yang bilang ini bukan saatnya. Bahwa Ramadhan harusnya penuh ketenangan. Tapi aku bertanya-tanya, tenang bagi siapa?

Sederhana. Aku tidak meminta banyak. Aku tidak menuntut istana, jabatan, atau harta berlimpah. Aku hanya ingin negara yang tidak menyakiti rakyatnya sendiri. Aku hanya ingin hukum yang berdiri untuk keadilan, bukan alat untuk menindas. Aku hanya ingin pemimpin yang mengerti bahwa kekuasaan bukan hak istimewa, melainkan tanggung jawab.

Aku ingin berbuka dengan damai, tanpa membaca berita tentang teman-teman yang diseret ke sel tanpa alasan. Aku ingin sujud dalam shalat tanpa merasa bersalah karena diam terhadap ketidakadilan. Aku ingin sahur tanpa dihantui bayangan anak-anak yang tumbuh dalam negara yang menormalisasi kekerasan.

Anies Baswedan menanggapi terror pengiriman kepala babi oleh orang tidak dikenal kepada Tempo, ia berkata, “Beranikah yang mengirimkan kepala babi itu bercerita kepada suaminya, kepada istrinya, kepada anaknya? Kalau tidak berani berarti Anda sedang melakukan hal yang biadab.” Kata-kata itu menggantung di pikiranku, seperti sesuatu yang ingin aku lupakan tetapi tidak bisa.

Aku menghabiskan separuh hariku untuk bersih-bersih rumah, mempersiapkan Idul Fitri, seperti yang dilakukan begitu banyak orang lain. Ada kenyamanan dalam ritual itu, dalam menyapu debu dari lantai dan menyusun kembali benda-benda yang seharusnya tidak pernah berpindah tempat. Tapi di luar rumah, di luar ruang kecil yang bisa aku atur dengan tanganku sendiri, ada sesuatu yang tidak bisa dibersihkan begitu saja—sebuah ketidakadilan yang terus mengendap di sudut-sudut negeri ini, menunggu seseorang yang cukup berani untuk menyingkirkannya.

Dan di sanalah Iliana, dengan kacamata hijaunya, melihat dunia dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh seorang anak kecil—tanpa prasangka, tanpa rasa takut. Aku ingin dunia yang lebih baik untuknya, dunia yang lebih sederhana. Tapi sederhana, ternyata, tidak pernah benar-benar sederhana.