Sujud

Di dunia yang riuh rendah ini, di antara deru kendaraan, gemuruh pasar, dan desakan kesibukan yang tak ada ujungnya, ada satu titik hening. Titik di mana manusia berlutut, menundukkan kepala, menekan dahinya ke bumi, menyerahkan segalanya. Itulah sujud, puncak ketundukan, tanda paling nyata bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari segala ambisi, segala gelisah, dan segala kebingungan yang membelit kehidupan.

Aku memandangi layar ponsel, galeri penuh dengan potret-potret kehidupan. Ada Iliana, putriku yang kecil, dengan senyum tak berdosanya, tertawa tanpa beban, bermain di lantai rumah, meneguk minuman dengan matanya yang berbinar-binar penuh keajaiban. Ada dia yang berjalan kecil-kecil, membawa kantong plastik yang terlalu besar untuk tangannya yang mungil. Dunia belum menaklukkannya, belum mengajarinya tentang beban hidup, tentang grafik saham yang turun drastis, tentang rapat-rapat panjang yang penuh ketegangan.

Di sisi lain, ada foto-foto yang kontras. Ruang kelas yang dipenuhi orang-orang serius, kepala-kepala yang menunduk ke layar laptop, tangan-tangan yang sibuk mengetik, wajah-wajah yang dikerutkan oleh analisis dan beban tanggung jawab. Ada suasana yang berbeda, seolah-olah di sana kehidupan ditimbang, diperdebatkan, dan diputuskan dengan satu ketukan tombol. Mungkin ini tentang angka, tentang laporan keuangan, atau tentang kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi nasib banyak orang.

Hidup memang seperti itu. Dari tawa kecil seorang anak hingga keseriusan rapat para profesional, semuanya adalah perjalanan menuju sujud. Masing-masing membawa bebannya sendiri, perjuangan yang unik, harapan yang tak selalu terpenuhi. Ada mereka yang bersujud dalam shalat, di waktu-waktu sunyi saat dunia berlari terlalu cepat. Ada yang bersujud dalam arti lain—menyerah, terjatuh, dan memulai lagi dengan kepala yang lebih rendah dan hati yang lebih pasrah.

Di ruangan yang tak terlalu luas itu, di antara deretan meja kayu dan layar-layar laptop yang tak henti berkedip, para relawan pajak Kanwil DJP Jawa Tengah II bersimpuh dalam tugasnya. Mereka bukanlah orang-orang dengan kekuasaan besar, bukan pula tokoh yang dielu-elukan, tetapi dalam kesunyian kerja mereka, ada sesuatu yang lebih bermakna dari sekadar angka—ada pengabdian, ada keikhlasan, ada sujud dalam bentuk yang lain.

Sujud tak selalu berarti dahi menyentuh lantai di atas sajadah. Kadang, sujud adalah tunduknya hati pada tanggung jawab, pada amanah yang diberikan. Seperti relawan berkerudung hitam itu, yang dengan penuh kesabaran menuntun wajib pajak memahami laporan pajak. Seperti para relawan yang duduk berjam-jam, membiarkan mata mereka lelah demi memastikan bahwa tak ada satu pun wajib pajak yang kebingungan. Sujud adalah ketekunan mereka, yang tak menuntut balasan selain ridha-Nya.

Di belakang mereka, jendela membiarkan sinar matahari masuk dalam garis-garis tipis, seolah menjadi saksi bahwa di tempat ini, di antara angka-angka yang kaku, ada sesuatu yang hidup. Ada kebajikan yang dijalankan tanpa pamrih, ada sujud yang tak terlihat, tapi terasa. Karena sesungguhnya, setiap ilmu yang diajarkan dengan tulus, setiap bantuan yang diberikan tanpa mengharap imbalan, adalah sujud dalam bentuk amal.

Dan di dalam ruangan itu, para relawan bekerja bukan hanya untuk membantu orang memahami angka, tetapi untuk sesuatu yang lebih dalam: untuk menegakkan keadilan, untuk membangun negeri, untuk beribadah. Sebab mereka tahu, dalam setiap usaha yang dilakukan dengan hati yang tunduk kepada-Nya, ada keberkahan yang tak terhitung, ada sujud yang tak kasat mata, tapi begitu nyata di hadapan Tuhan.

Di lantai yang dingin dan mengilap, Iliana, putriku, duduk dengan tawa yang mengembang di wajahnya. Matanya berbinar, pipinya belepotan entah oleh sisa minuman atau jejak kegembiraan yang terlalu sulit untuk diseka. Rambutnya yang bergelombang jatuh berantakan di dahi, berkonspirasi dengan tawa riangnya untuk menciptakan potret kebahagiaan yang paling murni.

Di depannya, segelas minuman berdiri tegak, dengan sedotan hitam yang masih basah oleh jejak bibir mungilnya. Mungkin ia baru saja menyeruputnya, atau mungkin tengah menikmati jeda kecil, menunggu waktu yang tepat untuk kembali menyelami rasanya. Tangannya bertumpu di lantai, jari-jarinya yang mungil menyentuh permukaan dingin dengan keingintahuan yang tak pernah padam, seperti anak-anak pada umumnya—tapi bagiku, Iliana bukan anak kecil biasa, ia adalah dunia kecilku yang penuh keajaiban.

Baju biru muda dengan ruffle di bahunya seolah menjadi sayap kecil yang menambah pesona alaminya. Di pergelangan tangannya, gelang kecil berwarna-warni melingkar, mungkin hadiah kecil yang begitu berharga baginya. Aku membayangkan, mungkin dalam pikirannya, ia sedang merancang sebuah petualangan besar—dan segelas minuman ini hanyalah satu babak kecil dalam kisah besar yang sedang ia ciptakan.

Dunia di sekelilingnya tak begitu penting. Yang ada hanyalah Iliana, dengan senyum lebarnya, tawa renyahnya, dan cahaya kebahagiaan yang menghangatkan hatiku lebih dari apa pun.

Iliana mungkin belum mengerti arti sujud. Tapi di dalam dirinya, aku melihat ketulusan seorang manusia yang belum tercemar oleh kesibukan dunia. Dan orang-orang di ruangan itu, dengan segala analisis dan perhitungan mereka, juga sedang mencari sesuatu. Barangkali ketenangan, barangkali kepastian, barangkali sebentuk doa yang tak sempat diucapkan.

Sujud bukan sekadar menempelkan dahi ke tanah. Sujud adalah tentang kembali. Kembali pada yang menciptakan, kembali pada yang menggenggam segala rahasia, kembali pada satu-satunya tempat di mana gelisah tak lagi berkuasa. Dan dalam perjalanan panjang hidup ini, setiap manusia akan sampai pada titik itu—cepat atau lambat, dengan cara yang lembut atau dengan guncangan yang memaksa.

Iliana akan tumbuh besar, dunia akan mengajarinya banyak hal, dan mungkin suatu hari nanti, ia juga akan duduk di ruang rapat, menunduk ke layar laptop dengan keseriusan yang sama. Tapi sebelum itu terjadi, aku berharap ia selalu ingat bagaimana rasanya menjadi anak kecil yang bebas, yang berjalan tanpa takut, yang percaya bahwa ada tangan yang selalu menjaganya. Agar kelak, ketika ia menemukan beban hidupnya sendiri, ia tahu ke mana harus kembali—ke dalam sujudnya.