Langit tampak kelabu sore tadi, awan menggantung rendah seolah hendak tumpah dalam rintik hujan yang tertunda. Udara dingin menyusup perlahan, melembutkan hari yang berjalan dengan ritme lebih lambat dari biasanya. Aku melihat ke samping, ke arah hamparan sawah yang membentang luas. Hijau, tenang, tak tergesa-gesa. Angin membelai batang-batang padi yang mulai merunduk, seperti memberi isyarat bahwa segala sesuatu di dunia ini bergerak dalam kehendak yang lebih besar dari diri kita sendiri—takdir.
Di kantor, suasana pun terasa berbeda. Hari ini Ginanjar tidak masuk kerja. Biasanya, dia adalah poros kecil yang membuat suasana lebih hidup. Ada saja yang ia ceritakan, terutama tentang JKT48, idolanya yang selalu ia kagumi tanpa henti. Meja kerjanya tampak kosong, tanpa suara dan tanpa energi yang biasanya berputar di sekelilingnya. Keheningan itu terasa lebih kentara dibanding hari-hari sebelumnya.
Aku sendiri tidak banyak bicara hari ini. Pagi berlalu dalam diam, tanganku sibuk bekerja, tapi pikiranku melayang ke sana kemari. Saat rapat siang tadi, aku lebih banyak menjadi pendengar. Biasanya, aku akan menyampaikan pendapat atau sekadar menimpali diskusi yang berlangsung. Tapi hari ini, aku memilih untuk menyimak, membiarkan kata-kata dari rekan-rekan kerja mengalir masuk tanpa tergesa-gesa ingin menanggapinya.
Begitu pula saat berbicara dengan Iqlima mengenai pekerjaan. Aku lebih banyak mendengar, membiarkannya menjelaskan, sesekali mengangguk, dan menyadari sesuatu yang selama ini jarang kupikirkan. Ia bercerita tentang bagaimana takdir akhirnya membawanya pindah ke Surakarta—sesuatu yang dulu belum pernah ia bayangkan. Ada banyak rencana yang sudah ia susun di tempat sebelumnya, namun hidup, seperti biasa, selalu punya jalannya sendiri, katanya sambil tersenyum. Kadang aku lupa bahwa kita hanya berjalan di atas garis yang sudah ditentukan
Aku menyimak, membiarkan kata-katanya masuk ke dalam pikiranku. Ternyata, mendengar itu lebih berharga dari yang kusangka. Kata-kata yang datang dari orang lain membawa pengetahuan, pengalaman, bahkan perasaan yang tak selalu bisa kupahami jika aku terlalu sibuk berbicara. Sementara, berbicara hanya menumpahkan apa yang sudah ada dalam pikiranku—tanpa menambah sesuatu yang baru.
Sama seperti sawah yang diam, menyerap sinar matahari dan air tanpa suara, tapi tumbuh dengan kekuatan yang luar biasa. Seperti langit yang terlihat tenang, tapi menyimpan jutaan misteri di balik awan-awan yang bergelayut. Aku sadar bahwa keheningan hari ini bukan sekadar kebetulan. Mungkin inilah takdir kecil yang ingin mengajariku sesuatu—tentang sabar, tentang memahami, tentang menerima bahwa hari ini dan seterusnya memang ditakdirkan untuk belajar lebih banyak diam dan mendengar.
Takdir tidak selalu datang dalam bentuk peristiwa besar yang mengguncang hidup. Kadang, ia bersembunyi dalam hal-hal kecil—dalam sunyi, dalam kehilangan sementara, dalam perubahan kecil yang hampir tak terasa. Dan hari ini, dalam suasana kantor yang lebih sepi, dalam rapat yang kuikuti tanpa banyak bicara, dalam percakapan dengan Iqlima yang lebih banyak kudengarkan, aku belajar bahwa keheningan pun punya suara.
Mungkin besok Ginanjar akan kembali, membawa cerita baru tentang JKT48, mengisi kembali celah-celah kekosongan yang terasa hari ini. Mungkin suasana kantor akan kembali seperti biasa, riuh dengan obrolan dan tawa. Tapi hari ini, dalam kesunyian yang mengajarkan, aku menemukan sesuatu yang tak pernah kucari, tapi ternyata begitu berarti.