Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui jendela kamar, membangunkanku dari tidur. Udara di Colomadu masih terasa sejuk, dan aku bisa mendengar suara Iliana di luar kamar, bermain sepeda di halaman. Ramadan ini terasa istimewa, bukan hanya karena ibadah puasa yang tengah kami jalani, tetapi juga karena semakin banyak momen refleksi yang aku rasakan setiap harinya.
Aku memulai aktivitas dengan mengambil mushaf Al-Qur’an di meja kecil samping tempat tidur. Ada ketenangan yang selalu aku temukan dalam ayat-ayat suci, mengingatkanku akan kebesaran Allah dan pentingnya taqwa—kesadaran penuh akan keberadaan-Nya dalam setiap aspek kehidupan.
Membaca firman Allah tentang kehidupan, ujian, dan ketundukan kepada-Nya selalu membuatku berpikir: Apakah selama ini aku sudah benar-benar bertakwa? Bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi benar-benar menjadikan setiap keputusan dalam hidup sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah?
Aku menutup mushaf, menarik napas dalam, lalu bangkit dari tempat dudukku.
Iliana menghentikan sepedanya dan menyapaku dengan wajah ceria.
Sehari-hari, aku sering berpikir bahwa menjadi bapak juga bagian dari perjalanan taqwa. Kesabaran dalam mendidik, menjaga amanah, dan membimbing Iliana agar tumbuh dengan baik adalah bentuk ketundukan kepada Allah. Ada banyak godaan untuk terburu-buru atau kehilangan kesabaran, tetapi aku selalu diingatkan bahwa ketaqwaan bukan hanya diukur dari ibadah ritual, tetapi juga dari akhlak dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah semua pakaian selesai dijemur, aku baru ingat bahwa ban sepedaku kempis sejak kemarin. Aku pun membawa sepeda itu keluar dan berjalan menuju tukang tambal ban di ujung jalan dekat perempatan. Di sana, aku disambut dengan senyum ramah pemilik bengkel, seorang pria paruh baya yang sudah hafal dengan pelanggannya.
“Bannya bocor atau cuma kurang angin, Mas?” tanyanya.
“Sepertinya bocor, Pak,” jawabku.
Sambil menunggu proses tambal ban, aku duduk di bangku kayu kecil, tercium aroma ayam goreng crispy dari warung itu menyeruak, menggodaku di tengah puasa. Aku menelan ludah, mencoba mengalihkan perhatian dengan melihat sekitar.
Setelah urusan ban selesai, aku kembali ke rumah, lalu langsung melanjutkan perjalanan ke bengkel AHASS untuk servis rutin motor Nana—Scoopy pink kesayangannya. Di bengkel, suasana cukup ramai, beberapa pelanggan lain sudah duduk menunggu motor mereka selesai diperiksa. Aku menyerahkan kunci motor ke mekanik, lalu duduk di ruang tunggu. Lagi-lagi, aroma kopi yang menggoda menjadi ujian tersendiri saat berpuasa.
Setelah servis selesai, aku pulang dan beristirahat sebentar sebelum menyiapkan rencana berbuka puasa. Sore itu, kami berencana makan di Steak Moon Moon, tempat yang sudah lama ingin kami coba lagi. Iliana sangat bersemangat karena dia suka minumannya, dan tempat itu terkenal dengan steak ayamnya yang lezat.
Sore itu, kami awalnya berencana makan di Steak Moon Moon, tetapi akhirnya memilih untuk makan di Bakso Mblenger di dekat UMS, itu pun setelah Isya, untuk berbuka kami makan seadanya. Aku memesan bakso urat dengan tetelan, sementara Nana memilih bakso keju. Iliana, seperti biasa, hanya ingin bakso polos tanpa sambal.
Saat menyeruput kuah hangat setelah seharian berpuasa, aku teringat sebuah kalimat:
Puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga latihan taqwa—melatih diri untuk selalu ingat kepada Allah dalam keadaan apa pun. Saat lapar, kita sadar bahwa kita bergantung sepenuhnya pada rezeki Allah. Saat kenyang, kita diingatkan untuk bersyukur dan tidak berlebihan.
Setelah makan bakso, kami pulang ke rumah, aku meneruskan membaca Al Quran, sebelum tidur aku membuka Twitter dan melihat tagar #TolakRUUTNI sedang ramai diperbincangkan. Aku membaca berbagai ulasan dan pendapat dari akademisi, aktivis, dan masyarakat yang menolak revisi ini.
RUU TNI yang baru ini mengkhawatirkan, karena bisa membuka jalan bagi dwifungsi TNI, mengembalikan peran militer dalam urusan sipil yang seharusnya sudah dihapus dalam reformasi. Aku membaca lebih dalam, dan semakin jelas bahwa ini bukan sekadar isu hukum atau politik—ini adalah persoalan keadilan dan amanah dalam bernegara.
Sebagai seorang Muslim, aku teringat bahwa taqwa juga berarti menegakkan keadilan dan menolak kebatilan. Allah telah memerintahkan dalam Al-Qur’an:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)
Jika aturan ini disahkan, ada risiko besar bahwa militer akan kembali terlibat dalam urusan sipil, yang bisa mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan. Reformasi yang diperjuangkan dengan susah payah bisa terancam.
Aku termenung. Apakah diam dalam ketidakadilan termasuk taqwa? Tidak. Taqwa bukan hanya soal ibadah personal, tetapi juga soal keberanian bersuara untuk menegakkan kebenaran.
Maka, aku memutuskan untuk ikut menyuarakan penolakan ini. Aku menulis sebuah cuitan, menyertakan argumen yang telah aku baca:
“RUU TNI adalah ancaman bagi demokrasi dan reformasi militer. Kita butuh militer yang profesional, bukan yang kembali masuk ke ranah sipil. #TolakRUUTNI”
Demokrasi adalah napas bagi sebuah negara yang berdaulat, dan pemisahan antara kekuasaan sipil serta militer adalah fondasi yang menjaganya tetap tegak. Kini, dengan hadirnya RUU TNI yang membuka ruang bagi militer untuk kembali menduduki jabatan sipil, kita dihadapkan pada ancaman nyata terhadap prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi.
Aku menolak RUU TNI bukan karena anti-militer, bukan pula karena tidak menghargai jasa para prajurit yang telah berkorban demi negeri ini. Justru karena aku menghormati peran utama TNI sebagai penjaga kedaulatan negara, maka aku menolak pengaburan batas antara ranah militer dan sipil.
Reformasi 1998 telah membawa kita pada satu kesepahaman: militer tidak boleh lagi terlibat dalam urusan politik dan pemerintahan sipil. Dwifungsi ABRI yang dahulu membelenggu demokrasi telah kita tinggalkan demi tatanan yang lebih adil dan transparan. Mengembalikan militer ke jabatan sipil, meski dibalut dalih “penyesuaian”, adalah langkah mundur yang berbahaya.
Ada beberapa alasan mendasar mengapa aku menolak RUU ini:
1. Mengancam Demokrasi dan Supremasi Sipil
Negara demokratis menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dengan pemerintahan sipil sebagai pengelolanya. Jika jabatan-jabatan sipil diisi oleh militer yang masih aktif atau bahkan pensiunan dengan pola pikir komando, independensi lembaga-lembaga sipil akan terganggu. Pengambilan keputusan di institusi sipil tidak boleh tunduk pada hierarki militer yang mengutamakan kepatuhan tanpa perdebatan.
2. Melanggar Semangat Reformasi
Reformasi telah membawa perubahan signifikan dengan memisahkan peran TNI dan Polri serta menghapuskan dwifungsi militer. RUU ini justru berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi dalam bentuk yang lebih terselubung. Ini bukan hanya kemunduran, tapi pengkhianatan terhadap perjuangan panjang rakyat.
3. Tidak Menyelesaikan Masalah Internal di TNI
Salah satu alasan RUU ini adalah untuk mengakomodasi banyaknya perwira tinggi yang “menganggur” karena terbatasnya posisi di dalam struktur TNI. Solusi yang ditawarkan adalah menempatkan mereka di jabatan sipil. Ini jelas bukan penyelesaian yang sehat. Yang perlu dilakukan adalah reformasi internal TNI, perbaikan sistem regenerasi, dan penyesuaian struktur agar tidak terjadi penumpukan jabatan yang menghambat karier prajurit.
4. Membuka Celah Militerisme dalam Pemerintahan
Jika militer diberi akses luas ke jabatan sipil, maka kita harus bersiap dengan konsekuensi jangka panjang: pola kepemimpinan yang semakin otoriter, penyempitan ruang demokrasi, dan kemungkinan meningkatnya represi terhadap rakyat. Kita sudah melihat banyak contoh dari negara lain, bagaimana militer yang terlalu dominan dalam pemerintahan justru membawa instabilitas dan korupsi yang lebih parah.
5. Menyimpang dari Prinsip Taqwa dan Keadilan
Dalam Islam, kepemimpinan harus dijalankan dengan adil, amanah, dan berdasarkan musyawarah. Kekuasaan yang sehat lahir dari pemimpin yang bersih, bukan dari dominasi kelompok tertentu. Rasulullah SAW sendiri tidak menjadikan militer sebagai pengelola urusan sipil, melainkan memilih para pemimpin yang mampu mengelola masyarakat dengan bijaksana. Jika kita ingin membangun negeri ini dengan nilai-nilai taqwa, maka supremasi hukum dan demokrasi harus tetap dijaga.
RUU TNI bukan sekadar revisi administratif; ini adalah pertarungan antara demokrasi dan militerisme. Jika kita membiarkan ini terjadi, maka kita sedang menggali kubur bagi kebebasan dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Aku menolak RUU TNI karena aku mencintai negeri ini. Aku menolak bukan karena membenci TNI, tetapi karena ingin melihatnya tetap fokus pada tugasnya sebagai penjaga kedaulatan negara, bukan sebagai aktor dalam pemerintahan sipil. Demokrasi harus tetap dijaga, dan supremasi sipil harus tetap menjadi pilar utama dalam sistem pemerintahan kita.
Setelah membaca dan menuliskan opini, aku menutup ponsel dan mengambil mushaf Al-Qur’an. Sebelum tidur, aku membaca beberapa ayat dan berdoa, memohon agar Allah menjaga negeri ini dari segala bentuk kezaliman dan memberikan petunjuk bagi para pemimpin.
Taqwa bukan hanya tentang ibadah pribadi, tetapi juga tentang bagaimana kita bersikap terhadap keadilan, amanah, dan kesejahteraan masyarakat. Jika aku hanya diam melihat kebijakan yang bisa membawa kemunduran, bagaimana bisa aku mengaku sebagai orang yang bertakwa?
Aku menarik napas dalam, merasa lebih tenang. Besok adalah hari baru, dan aku ingin terus menjalani hidup dengan prinsip taqwa—menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan berusaha menegakkan kebenaran di mana pun aku berada.
#TolakRUUTNI