Pagi ini, langit masih muram saat aku keluar rumah. Udara dingin masih menempel di kulit, sisa hujan semalam. Aku meraih sepedaku, bersiap berangkat seperti biasa. Tapi saat mulai mengayuh, ada sesuatu yang aneh. Berat. Tak seimbang. Aku turun, memeriksa, dan—ah, rupanya ban belakang bocor. Aku menghela napas. Mungkin semesta sedang ingin memberiku tantangan kecil pagi ini.
Tanpa banyak berpikir, aku kembali ke dalam rumah, mengambil kunci mobil, lalu berangkat ke kantor. Rasanya aneh, tidak bersepeda seperti biasa. Seperti ada yang hilang, meski hanya sebuah kebiasaan sederhana. Tapi di sisi lain, aku bersyukur karena setidaknya aku sadar sebelum benar-benar berada di tengah jalan.
Hari ini, semuanya berjalan terlalu lancar. Tidak ada dokumen yang dicari, tidak ada pekerjaan yang tertunda, tidak ada kendala teknis yang biasanya muncul tiba-tiba. Seisi kantor bekerja dalam harmoni yang hampir mencurigakan. Lalu, Iqlima, dengan ekspresi penuh selidik, nyeletuk, “Curiga nggak sih? Seharian lancar, nggak ada masalah apa-apa. Jangan-jangan besok banyak kejutan.”
Aku tertawa. Kadang hidup memang seperti ini, berjalan tenang sebelum badai, atau justru terlalu tenang sehingga kita mulai mencurigainya sendiri.
Di sela kesibukan, Mas Surono mengangkat wajahnya dari layar komputer, matanya berbinar seperti baru saja menemukan ide brilian. Ia mulai membahas konten yang meniru salah satu pernyataan pejabat. “Saya terus terang nggak tahu, saya tidak diberitahu. Saya bahkan bertanya-tanya, kenapa saya tidak tahu?” katanya, menirukan dengan begitu fasih. Kami semua tertawa. Tawa yang penuh makna, karena kami tahu, dalam kalimat itu tersimpan kenyataan yang lebih luas dari sekadar lelucon dan sangat bisa untuk dibuat konten.
Menjelang sore, perut mulai mengirim sinyal darurat. Lambungku yang sejak pagi bekerja tanpa asupan mulai memberontak, mengirimkan gelombang protes dalam bentuk bunyi-bunyian tak beraturan. Saat itulah aku tahu, ini waktunya perang suci: war takjil.
Seperti kemarin, kaki kami otomatis melangkah menuju Pasar Takjil Manahan, tanah suci bagi para pencari hidangan berbuka. Begitu tiba, aku langsung disergap oleh keajaiban: tenda-tenda berwarna cerah berjajar seperti parade kemenangan, suara pedagang bersahutan menawarkan dagangan dengan semangat seorang juru kampanye, dan aroma makanan yang menyerang dari segala penjuru. Ada wangi ayam krispi yang menggoda, asap sate yang melayang-layang seperti kabut di pagi hari, dan bau manis dari aneka jajanan yang membuat perut semakin bergejolak.
Aku bergerak lincah di antara kerumunan. Targetku sudah jelas. Pecel, risol mayo, tentu saja cumi bakar—karena tak ada perang tanpa pahlawan sejati. Aku juga mengambil es longan yang dinginnya seperti embun pagi di pegunungan, dan teh tarik Jodi, minuman sakral yang seperti sudah menjadi ritual wajib setiap kali mampir ke pasar ini.
Di sampingku, Ulung dan Iqlima berputar-putar tanpa tujuan jelas. Matanya menelusuri setiap gerobak, seolah sedang mencari harta karun, sesaat kemudian tangannya sudah penuh dengan plastik jajanan.
Sesekali, aku melihat pedagang tersenyum lebar, puas karena dagangannya laris manis. Anak-anak kecil berlari-lari kecil di sela-sela pengunjung, menggenggam es krim yang hampir meleleh. Di sudut lain, seorang bapak tua dengan peci lusuh duduk tenang menikmati larisnya dagangannya, seperti menemukan surga kecil di tengah keramaian.
Sungguh, Pasar Takjil Manahan bukan hanya tempat berburu makanan. Ini adalah perayaan kecil dalam hidup, tempat di mana orang-orang yang kelelahan setelah sehari penuh berpuasa menemukan kebahagiaan sederhana dalam sebungkus gorengan, segelas es segar, dan tawa teman-teman di bawah langit sore yang mulai meredup.
Sementara itu, Ulung tiba-tiba tampak linglung. Dalam perjalanan kembali ke kantor, dia membahas satu tempat makan, tapi yang dia maksud ternyata tempat makan lain. Kami tertawa, menggoda bahwa dia mungkin sedang kelelahan atau pikirannya masih tertinggal di Pasar Takjil bersama aroma sate cumi.
Setelah kembali ke kantor, kami melanjutkan pekerjaan sampai akhirnya waktu berbuka tiba. Aku pulang, menyantap pecel dan risol mayo dengan lahap, lalu mandi dan shalat Magrib. Sejenak, aku merebahkan diri, menikmati ketenangan sebelum melanjutkan malam dengan Tarawih.
Iliana, seperti biasa, selalu punya cara membuat suasana menjadi lebih hidup. Kali ini, dia ikut ke masjid bersamaku. Aku berharap dia akan duduk manis atau minimal bermain tanpa mengganggu orang lain. Tapi tentu saja, harapan itu terlalu tinggi untuk anak seusianya.
Saat imam mulai membaca surat, Iliana berjoget-joget di sampingku, menyanyikan lagu Baby Shark dudu du dudu du dengan penuh semangat. Aku mencoba tetap khusyuk, tapi sulit ketika di sebelahku ada anak kecil yang menari dengan gembira. Beberapa jamaah melirik ke arahnya, sebagian tersenyum, sebagian lagi mungkin mencoba menahan tawa.
Ketika sujud, dia malah tidur tepat di tempatku akan meletakkan kepala. Aku menggeser sedikit posisiku, tapi dia pun ikut bergeser, seakan ini adalah permainan baru baginya. Tidak berhenti di situ, Iliana juga menarik ujung bajuku dan—oh, yang ini cukup menyakitkan—mencakar kakiku dengan jemari mungilnya. Aku hanya bisa diam
Sepulang dari masjid, kami mampir sebentar membeli susu. Sampai di rumah, Iliana masih segar bugar sementara aku sudah mulai mengantuk. Aku berusaha mengejar target bacaan Al-Quranku di ruang tengah. Suara Iliana masih terdengar dari dalam kamar, memamggil namaku, bermain dengan mainannya, seakan energinya tidak ada habisnya.
Aku membaca semampuku, malam ini, aku belajar satu hal: taubat bukan hanya tentang meninggalkan kesalahan, tapi juga tentang menerima kekacauan kecil dalam hidup dengan hati yang lebih lapang. Sepeda bocor, rekan kerja yang unik, Iliana yang berjoget di masjid—semua itu bukan gangguan, melainkan bagian dari ritme hidup yang harus diterima dengan senyuman.