Tawakal

Malam itu, aku melangkah perlahan di bawah gerbang bercahaya. Lampu-lampu berkelap-kelip seperti bintang yang turun ke bumi, menggantung rapi dalam barisan panjang, menyinari jalanan yang dipenuhi pejalan kaki dan kendaraan yang lalu lalang. Udara malam terasa hangat, berpadu dengan suara riuh rendah orang-orang yang berjalan di sekelilingku. Di pundakku, Iliana duduk dengan tenang, kedua tangannya yang mungil bertumpu di kepalaku, kakinya menjuntai di bahuku, seolah-olah dunia ini adalah panggung besar dan ia sedang berada di tempat tertingginya.

Aku bisa merasakan tubuh kecilnya, napasnya yang teratur, dan sesekali ia bergumam kecil, menikmati pemandangan dari atas. Aku tahu, dari tempatnya duduk sekarang, ia bisa melihat lebih banyak dibandingkan saat berjalan sendiri di tanah. Ia bisa menatap jauh ke depan, melihat lautan cahaya, orang-orang yang berlalu-lalang, dan jalan panjang yang terbentang. Tapi di balik semua itu, yang paling membuatku tersenyum adalah kenyataan bahwa Iliana tidak pernah ragu sedikit pun. Tidak ada ketakutan dalam dirinya. Tidak ada kekhawatiran bahwa aku mungkin akan terjatuh, bahwa aku mungkin akan kelelahan, atau bahwa aku mungkin akan melepaskannya.

Ia percaya penuh.

Malam itu, aku berpikir tentang tawakal.

Bukankah begitulah seharusnya kita dalam menjalani hidup? Seperti Iliana yang duduk di pundakku dengan keyakinan penuh bahwa Bapaknya akan selalu menjaga, selalu membawanya ke tempat yang aman. Tawakal bukan berarti diam, bukan berarti menyerah begitu saja. Tawakal adalah keyakinan yang kokoh setelah usaha telah dilakukan, setelah segala daya dikerahkan, dan setelah doa telah dipanjatkan. Tawakal adalah berjalan tanpa takut, bukan karena kita tahu apa yang ada di depan, tetapi karena kita tahu kepada siapa kita bersandar.

Ramadhan mengajarkan itu.

Kita menahan lapar, menahan dahaga, berusaha menahan amarah, mengendalikan diri dari segala keinginan yang biasa kita penuhi dengan mudah. Kita melangkah dalam doa, memohon yang terbaik, berusaha menjadi lebih baik. Tapi di atas semua itu, kita belajar menyerahkan hasilnya kepada-Nya. Seperti Iliana yang tidak perlu tahu ke mana aku akan membawanya, tidak perlu tahu seberapa jauh perjalanan ini, atau seberapa panjang jalan yang harus kami tempuh. Ia cukup bersandar, cukup percaya, dan cukup menikmati perjalanan.

Aku terus berjalan, melewati cahaya-cahaya yang bersinar di atas kepala. Iliana tetap duduk dengan nyaman di pundakku, sesekali berseru kecil ketika melihat sesuatu yang menarik. Aku merasakan beban tubuhnya, tapi itu bukan beban yang memberatkan. Itu adalah kepercayaan yang diberikan padaku, yang harus kujaga dengan sebaik-baiknya.

Dan di situlah aku sadar, bahwa sebagaimana aku menjaga langkah agar Iliana tetap aman di pundakku, ada pula tangan yang lebih kuat yang menjaga langkah-langkahku. Aku mungkin merasa letih, merasa ragu, merasa tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi aku hanya perlu terus berjalan, seperti Iliana yang percaya penuh pada pundakku.

Karena bukankah kita semua, pada akhirnya, hanya sedang duduk di pundak-Nya?