Ukhuwah

Hari itu langit Solo kelabu. Awan menggantung rendah, seolah ingin merangkul kota yang sibuk di bawahnya. Aku mengantar Nana ke salon, lalu mengajak Iliana ke Solo Square. Susah sekali mencari tempat parkir, berputar-putar sampai akhirnya menemukan satu celah di antara deretan mobil yang mengkilap oleh sisa hujan semalam.

Iliana, seperti biasa, tak peduli pada kesibukan orang dewasa. Matanya berbinar ketika aku membelikannya ayam krispi. Saat menunggu antrean, ia tiba-tiba berjoget kecil mendengar lagu Naik Kereta Api yang diputar dari speaker mal. Orang-orang di sekitarnya tersenyum melihatnya, dan aku tahu, tanpa sadar, anak ini telah mengajarkan sesuatu tentang ukhuwah—tentang bagaimana keterikatan manusia bisa terjalin bahkan hanya lewat satu tarian kecil.

Kemudian ia melihat sebuah patung beruang besar dan langsung menarik tanganku, meminta difoto. Setelah puas dengan fotonya, aku mengajaknya naik kereta-keretaan. Ia tertawa, melambai pada siapa pun yang ia lihat dari atas kereta. Setiap orang yang dilewatinya ia sapa, seolah dunia ini adalah rumahnya dan semua manusia di dalamnya adalah keluarganya. Tak ada prasangka, tak ada batas. Inilah ukhuwah yang sesungguhnya—murni, tanpa kepentingan, hanya hati yang ingin terhubung dengan hati yang lain.

Aku membelikannya buku mewarnai. Ia langsung membuka dan mulai mewarnai, sambil berceloteh dengan anak-anak lain yang juga duduk di area bermain. Aku mengamatinya dari jauh, berpikir bahwa ukhuwah, persaudaraan, bukan hanya tentang persamaan darah atau kepercayaan, tetapi tentang kebersamaan yang dibangun dari kepedulian.

Ketika Nana selesai dari salon, ia menyusul ke Solo Square. Aku pergi menunaikan salat Ashar, sementara mereka menunggu di Chandikala Rooftop, tempat kami duduk sekarang. Angin sore membelai wajah, lampu-lampu kecil mulai menyala, dan di bawah langit kelabu ini, orang-orang duduk bersama, berbagi cerita, tanpa perlu tahu nama masing-masing. Aku menatap Iliana yang duduk di bangku putih berbentuk lingkaran di bawah pohon yang rantingnya hampir gundul, hanya tersisa beberapa bunga sakura palsu. Seperti negeri ini—pohon ukhuwah yang dulu rimbun, kini daunnya gugur satu per satu, tersisa sedikit harapan yang masih bertahan.

Tapi ukhuwah di tempat lain sedang diuji. Aku membaca berita malam itu setelah kami buka puasa di Alun-alun Sukoharjo bersama Bapak dan Ibu. Makan nila bakar yang lezat, berbincang hangat, lalu tiba-tiba aku merasa sakit luar biasa. Seekor serangga masuk ke mataku, menggigit delapan belas kali sebelum akhirnya bisa ku keluarkan—masih hidup, seolah menertawakan kepanikanku. 

Aku tertawa sendiri, tapi tawa itu tak bertahan lama ketika aku membuka ponsel dan membaca: “Tempo kembali mendapat kiriman bangkai hewan. Kali ini, tikus yang dipenggal.” Aku menghela napas. Sebelumnya, kepala babi dikirim ke kantor redaksi Tempo, sebagai bentuk ancaman, sebagai pesan yang tak perlu ahli kriptografi untuk menafsirkannya: ini adalah intimidasi. Ini adalah upaya membungkam suara yang berbicara terlalu nyaring bagi mereka yang ingin dunia tetap sunyi. 

Lalu aku membaca lebih jauh—tentang mahasiswa SUMA UI yang direpresi, jurnalis yang dipukuli, tim medis yang dihajar ketika mereka seharusnya menolong yang terluka. Tentang bagaimana polisi dan TNI menyerang safe zone medis di Malang, memborgol mereka yang seharusnya mendapat perawatan.

Di Malang, di Bandung, di Jakarta—tempat-tempat di mana suara-suara masih berani menggema, ukhuwah sedang dikoyak dengan kekerasan. Mereka yang seharusnya menjaga persaudaraan justru menghancurkannya. Mereka yang seharusnya menjadi pelindung justru berubah menjadi algojo. Bagaimana bisa? 

Apakah mereka lupa bahwa ukhuwah bukan hanya ada di dalam masjid, tapi juga di jalanan tempat rakyat bersuara? Bahwa ukhuwah bukan hanya tentang berbagi takjil, tapi juga tentang melindungi hak mereka yang disakiti? Mereka ingin kita ragu, ingin kita bertanya: “Apa untungnya meneror media?” Seolah-olah dalam sejarah, menekan kebebasan pers bukanlah strategi klasik dari mereka yang takut pada kebenaran.

Aku ingin Iliana tumbuh dalam dunia di mana ukhuwah bukan hanya kata kosong. Di mana jurnalis tidak diteror, mahasiswa tidak dipukuli, korban yang diobati tim medis tidak diborgol ketika sedang diselamatkan nyawanya. Aku ingin ia hidup dalam dunia yang lebih baik, di mana ukhuwah tidak harus dipertanyakan. Tapi malam ini, aku hanya bisa menggenggam tangan kecilnya, menatap langit kelabu, dan berharap bahwa suatu hari nanti, dunia akan mengerti.

Malam semakin larut. Langit di atas Solo masih kelabu, seperti menyimpan murka yang belum tumpah. Di Malang, di Bandung, di Jakarta, hujan bukan hanya turun dari awan, tapi juga dari pentungan aparat yang seharusnya melindungi. Aku membaca kabar itu dengan mata yang masih nyeri akibat gigitan serangga tadi. Tapi, sakit di mataku bukan apa-apa dibanding luka yang diderita mereka di Malang. Luka di kepala, di tubuh, di hati.

Mereka, anak-anak muda yang hanya ingin bersuara, dibungkam dengan bogem mentah. Para jurnalis yang hanya ingin melaporkan kebenaran, diperlakukan seperti kriminal. Tim medis yang mengulurkan tangan untuk menolong, justru dipukul hingga berdarah. Dan semua ini terjadi di negeri yang katanya menjunjung ukhuwah.

Aku terdiam lama. Seharusnya ukhuwah bukan sekadar konsep yang berkibar dalam pidato pejabat dan ceramah di televisi. Ukhuwah itu nyata, ia ada di tangan-tangan yang membantu, di bahu yang bersandar, di suara yang didengar, di nyawa yang dihargai. Tapi malam ini, ukhuwah itu diinjak-injak. Di Malang, perempuan dipukuli. Di Malang, tempat medis dihancurkan. Di Malang, mereka yang sekarat di ambulans justru diborgol. Mereka yang seharusnya berlari ke rumah sakit untuk selamat, kini harus melarikan diri dari rumah sakit untuk hidup.

Aku menatap Iliana yang tertidur di pangkuan Nana, napasnya tenang, tak terganggu hiruk-pikuk dunia di luar sana. Aku iri padanya. Iri pada ketenangan seorang anak yang belum mengenal ketakutan, belum mengenal kejahatan, belum mengenal kebiadaban yang dilakukan manusia kepada manusia lainnya. Tapi sampai kapan? Sampai kapan anak-anak kita bisa hidup dalam ketidaktahuan yang damai? Sampai kapan mereka bisa percaya bahwa dunia ini baik, bahwa manusia saling melindungi, bahwa ukhuwah itu nyata?

Mereka yang hari ini dipukul, ditangkap, dihancurkan, mereka juga pernah sekecil Iliana. Mereka juga pernah percaya bahwa dunia ini baik. Sampai mereka tumbuh dan melihat kenyataan. Sampai mereka mencoba bersuara dan dipaksa diam dengan kekerasan. Ukhuwah seharusnya tidak mati di jalanan Malang. Ukhuwah seharusnya hidup di tangan mereka yang menolong, di suara mereka yang melawan, di hati mereka yang belum takut. Karena semakin keras mereka menekan, semakin kuat perlawanan yang lahir. Karena ukhuwah yang sesungguhnya, tak akan pernah benar-benar mati.