Zikir

Aku terbangun pukul tiga tiga puluh pagi. Udara masih basah oleh embun, seperti sebuah rahasia yang dihembuskan semesta kepada mereka yang memilih untuk bangun lebih awal. Dunia masih terlelap, jalanan masih kosong, dan satu-satunya suara yang terdengar hanyalah detak jantungku sendiri, pelan tapi pasti. Aku makan ayam krispi dan beberapa butir kurma, dan minum susu sapi Boyolali.

Setelah selesai sahur, aku melangkah menuju air wudu, merasakan kesejukannya menyentuh kulit, lalu menengadah dalam doa yang mengalir seperti sungai kecil yang tak lelah mencari muaranya.

Setelah salat subuh, aku tidur lagi. Ada hal-hal di dunia ini yang memang harus diterima dengan ikhlas, termasuk kantuk yang datang tanpa aba-aba. Dan aku, sebagai manusia biasa, menyerah pada kantuk itu, membiarkan tubuh ini beristirahat sejenak sebelum kembali berjuang.

Ketika aku terbangun, matahari sudah menggantung tinggi di langit, menumpahkan panasnya ke jalanan yang kini telah penuh sesak. Kendaraan berlalu lalang dengan tergesa-gesa, manusia-manusia berlarian mengejar waktu, dan aku, dengan sepedaku, menyelinap di antara mereka, mencoba tetap tenang di tengah hiruk-pikuk kehidupan.

Hari ini tidak ada yang istimewa. Tidak ada kemenangan besar, tidak ada kejadian yang bisa diabadikan dalam sejarah. Tapi, tidak apa-apa. Tidak semua hari harus bersinar terang. Ada hari-hari yang hanya perlu dijalani dengan sabar, hari-hari yang meminta kita untuk tetap berjalan meski kaki terasa berat dan gemetar, hari-hari yang mengajarkan bahwa perjuangan tidak selalu tentang menang atau kalah, tapi tentang bertahan.

Di kantor, Ulung mengajukan pertanyaan yang memerlukan jawaban segera: siapa yang cocok menjadi perwakilan kami dalam suatu hal? Tanpa ragu, aku menyebut nama Mbak Heni. Bukan tanpa alasan. Mbak Heni adalah sosok yang menonjol di antara kami. 

Menurut studi numerologi, nama “Heni” mencerminkan sifat peduli sesama, dermawan, tidak mementingkan diri sendiri, patuh terhadap kewajiban, dan ekspresi kreatif. Dia memiliki sikap rendah hati yang tak dibuat-buat. Ketika aku menghubunginya secara pribadi untuk menyampaikan hal ini, dia menanggapinya dengan santai, tetapi aku bisa merasakan nada ragu dalam jawabannya.

“Yakin aku bisa?” begitu katanya, seolah-olah selama ini dia tidak menyadari bahwa banyak orang yang melihatnya sebagai sosok yang layak dan mampu.

Aku meyakinkannya. Dan akhirnya, dengan sedikit basa-basi khasnya, dia menerima tugas itu. Mungkin begitulah orang-orang seperti Mbak Heni. Mereka tidak pernah merasa perlu mengklaim keunggulan mereka sendiri. Mereka lebih memilih berkembang dalam diam, memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik tanpa perlu diketahui.

Pulang kerja, aku melihat Mbak Uki. Dia duduk di atas motor di dekat ATM BRI, matanya tertuju pada layar ponsel. Dari jarak beberapa meter, aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang serius, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang penting. Mungkin dia sedang menunggu teman untuk berolahraga badminton, mungkin dia sedang mengatur jadwal latihan, mungkin juga dia sekadar membaca berita atau membalas pesan yang tertunda. Aku tidak tahu pasti.

Yang aku tahu, Mbak Uki adalah salah satu orang yang paling disiplin dalam menjaga kebugarannya. Jika ada satu orang yang tidak pernah absen dalam kegiatan olahraga apa pun, itu pasti dia. Lari, badminton, bahkan kegiatan yang mungkin tidak biasa bagi kebanyakan orang, dia pasti ikut serta. Baginya, olahraga bukan sekadar rutinitas fisik, tapi sebuah cara hidup, sebuah bentuk disiplin yang tidak semua orang mampu jalani dengan konsisten.

Aku pernah mendengar seseorang berkata bahwa kebiasaan olahraga adalah refleksi dari bagaimana seseorang menghadapi kehidupan. Orang yang tekun berolahraga biasanya juga memiliki mental yang kuat, tidak mudah menyerah, dan tahu bagaimana cara menekan rasa malas. Aku rasa itu benar. Mbak Uki adalah buktinya.

Langit sore mulai gelap saat aku mengayuh sepeda menuju rumah. Rintik hujan jatuh pelan, membasahi jalanan, mengaburkan lampu-lampu kendaraan yang melintas. Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati aroma tanah basah yang selalu membawa ketenangan.

Di rumah, aku duduk bersila dengan Al-Qur’an di tanganku, membaca ayat demi ayat dengan suara lirih. Aku menepati janjiku pada diri sendiri. Hari ini aku menyelesaikan target bacaanku, bahkan lebih dari target, lebihnya tiga halaman. Ada rasa tenang yang menjalar perlahan di dadaku. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pencapaian. Ini bukan hanya tentang berapa banyak halaman yang kubaca, tapi tentang bagaimana ayat-ayat itu mengalir dalam diriku, menjadi bagian dari pikiranku, menjadi pelita di jalan yang kulalui.

Setelah salat tarawih, aku mampir ke angkringan dekat rumah. Tempat yang sederhana, dengan bangku-bangku kayu yang sudah tua, lampu yang temaram, dan obrolan orang-orang yang menghangatkan malam. Aroma gorengan bercampur dengan wangi teh panas, menciptakan suasana yang akrab dan damai.

Aku duduk di sana, mengamati orang-orang yang datang dan pergi. Beberapa tampak lelah setelah seharian bekerja, beberapa tersenyum lebar setelah bertemu kawan lama. Aku tersenyum kecil. Mungkin beginilah hidup. Tidak selalu tentang kejayaan, tidak selalu tentang kemenangan besar. Kadang, hidup hanya tentang bertahan, tentang berjalan meski kaki terasa berat, tentang menjaga zikir dalam hati, tentang meyakini bahwa selama kita masih melangkah, kita masih berjuang.

Malam ini aku berencana tidur lebih cepat dari biasanya. Aku tahu, esok hari akan datang dengan cerita baru, dengan perjuangan baru. Dan aku siap. Selama aku masih bisa berzikir, selama aku masih bisa berjuang, selama aku masih bisa bersyukur atas hal-hal kecil yang sering terlewatkan, aku tahu bahwa aku baik-baik saja.

Dan itu cukup. Itu lebih dari cukup.