Aku Tersenyum Melihat Foto Ini, Lalu Aku Menangis Diam-diam


Di zaman ketika dunia dipenuhi suara mesin dan kilat layar-layar kecil, ada satu pemandangan yang tetap tak tersentuh: seorang bapak yang tersenyum, menggendong cucu yang tertawa lepas. Tak banyak orang sadar bahwa momen sederhana seperti ini sebenarnya lebih berharga daripada semua kekayaan yang bisa dikumpulkan dalam satu kehidupan.

Itu adalah bapakku — lelaki yang mengajari aku berjalan di dunia ini — kini menurunkan cintanya kepada anakku, Iliana. Aku berdiri di tengah mereka, tak tampak dalam bingkai foto, tapi seluruh keberadaanku ada di situ. Dalam tangan bapakku yang mengangkat Iliana, kutemukan bayangan masa kecilku sendiri, berputar ulang seperti film tua yang tak pernah habis diputarnya.

Seluruh sejarah manusia bukan tentang bangsa-bangsa besar atau penemuan-penemuan megah — melainkan tentang jaringan kecil relasi manusia yang tak kasat mata: seorang bapak, seorang anak, seorang cucu. Jalinan seperti ini, tak pernah dimuat dalam buku pelajaran, namun diam-diam menjadi fondasi yang membuat umat manusia bertahan beribu-ribu tahun.

Mungkin kelak Iliana akan tumbuh di dunia yang lebih cepat, lebih bising, lebih asing. Tapi di dalam hatinya, akan hidup ingatan samar tentang seorang lelaki tua yang tertawa sambil menggendongnya di sore hari di Taman Sriwedari. Sebuah kenangan yang mungkin kecil, tapi cukup untuk membuat dunia tetap terasa rumah.

Dan aku? Aku adalah saksi sekaligus penghubung mereka berdua — mata rantai kecil dalam perjalanan besar bernama keluarga. Di hadapan cinta seperti ini, aku belajar sekali lagi, bahwa pada akhirnya, manusia hanya butuh dua hal untuk tetap bertahan: tangan yang kuat untuk menggenggam, dan hati yang lembut untuk mencintai. Dan diam - diam aku menangis iri, aku tidak pernah digendong Kakekku, bahkan bertemu pun tidak pernah.