Alih - alih Minum Paracetamol, Ternyata Makan Bakso dan Berkeliling Baluwarti Lebih Manjur sebagai Pereda Sakit Kepala
Aku sudah mencoba segalanya. Tidur siang, kopi hitam tanpa gula, bahkan rebahan sambil mendengarkan suara hujan dari aplikasi meditasi yang katanya dibuat oleh biarawan Tibet. Tapi sakit kepala ini tetap duduk manis di pelipisku, seperti kutu buku yang betah di perpustakaan.
Bakso, Mie Ayam, Bakso, Mie Ayam, Bakso, Mie Ayam. Bakso, Mie Ayam, Bakso, Mie Ayam, Bakso, Mie Ayam. Bakso, Mie Ayam, Bakso, Mie Ayam, Bakso, Mie Ayam. Bakso, Mie Ayam, Bakso, Mie Ayam, Bakso, Mie Ayam. Bakso, Mie Ayam, Bakso, Mie Ayam, Bakso, Mie Ayam. Ah, semangkuk keajaiban berbentuk bulat itu sepertinya lebih menarik
Hari itu matahari menggantung rendah tapi panasnya seperti dendam lama kepada mantan kekasihmu yang putus darimu lalu menikah dengan buru - buru dengan orang lain. Aku menyerah pada logika medis dan memilih berjalan - jalan, tak tahu ke mana. Kakiku membawaku ke sebuah warung bakso di sudut Kota Solo, di mana aroma kuah kaldu mengepul seperti doa-doa yang perlahan naik ke langit.
Aku duduk, dan tanpa perlu berpura-pura sopan, memesan semangkuk besar yang di dalamnya tersembunyi mie kuning, bihun, dan tentu saja bakso isi daging yang terasa seperti pelukan. Aku seruput kuah pertamanya, dan sumpah demi langit dan bumi—ada semacam desir yang menjalar dari kerongkongan sampai ke ujung rambut, tapi wajahku tetap berusaha biasa saja, karena ada temanku di sudut pojok warung bakso yang sama, entah dia memesan bakso atau apa, mungkin memesan kebahagiaan.
Sendok kedua mengajarkan arti sabar. Sendok ketiga memulihkan harapanku terhadap dunia. Dan sebelum aku menyadarinya, sakit kepala itu… menghilang. Pergi tanpa pamit tanpa rumit, mungkin karena kalah pamor oleh gurihnya kaldu dan harumnya bawang goreng.
Tapi penyembuhan tak berhenti di situ. Perut kenyang, aku melanjutkan ritual yang tak tertulis: berjalan - jalan keliling Baluwarti. Jalanan sepi, pohon-pohon rindang menari, dan tembok keraton yang lusuh berdiri setia, seperti kakek tua yang tak pernah bosan mendengar keluhan cucunya.
Angin bertiup pelan di panasnya terik matahari, dan aku menyadari, inilah meditasi sebenarnya. Bukan di atas kasur dengan mata tertutup, tapi di bawah pohon tua, menyusuri jalan lengang, membiarkan panas siang membakar sisa-sisa pikiran buruk dari semalam.
Ternyata Obat sakit kepala paling manjur bukan paracetamol. Tapi semangkuk bakso hangat dan sepenggal jalanan sunyi di Baluwarti. Dan sejak hari itu, setiap kali dunia terasa terlalu berat, aku tahu harus ke mana: ke warung bakso, lalu berjalan - jalan ke Baluwarti, seperti sedang pulang ke diriku sendiri.