Apa yang Akan Kita Kerjakan jika Semua Hal Sudah Dikerjakan AI?


Selama ribuan tahun, manusia bekerja bukan hanya demi bertahan hidup, tetapi demi membangun makna. Petani menanam padi bukan sekadar agar bisa makan, tetapi juga karena mereka percaya bahwa tanah adalah warisan leluhur. Seorang pandai besi di abad pertengahan menempa pedang bukan hanya untuk mendapatkan uang, tetapi untuk melindungi desanya. Kerja adalah jembatan antara kebutuhan biologis dan nilai-nilai kultural.

Namun di era modern, terutama setelah revolusi industri, kerja berubah menjadi sesuatu yang lebih abstrak. Kita duduk di belakang meja, mengetik angka-angka ke dalam sistem, menggeser data dari satu layar ke layar lain, seperti yang tampak dalam ruangan ini—dua monitor, satu presentasi, dan satu identitas profesional yang dibentuk oleh struktur birokrasi.

Pertanyaannya adalah: apa makna kerja hari ini ketika sebagian besar pekerjaan tak lagi menciptakan benda fisik, melainkan mengelola informasi?

Dalam masyarakat berbasis data, bekerja sering kali berarti menjadi bagian dari aliran algoritmik yang lebih besar dari kita sendiri. Kita bukan lagi tukang kayu yang memahat meja, melainkan bagian dari ekosistem digital yang tak terlihat. Kita memelihara sistem, memperbaiki data, menyesuaikan laporan—semua demi tujuan yang sering kali kabur dan tidak kita miliki sepenuhnya.

Tetapi di balik kerumitan itu, kerja masih bisa menjadi ritual pencarian makna. Ia bisa menjadi ruang untuk kolaborasi, ekspresi identitas, bahkan bentuk spiritualitas modern. Kita mungkin tak lagi menyembah dewa-dewa lama, tapi kita tunduk pada deadline, rapat mingguan, dan metrik produktivitas—ritual baru dalam kuil kapitalisme.

Dan ketika kecerdasan buatan mulai menggantikan manusia, pertanyaan tentang makna kerja menjadi lebih mendesak. Jika mesin bisa melakukan semua tugas kita dengan lebih cepat dan efisien, maka apa arti kerja bagi manusia?

Jawabannya bukan dalam efisiensi, tetapi dalam kebermaknaan. Mesin bisa menghitung lebih cepat, tapi mereka tak tahu mengapa kita menghitung. Mereka bisa meniru suara manusia, tapi tidak pernah memahami kesedihan di balik suara itu. Maka selama manusia masih mencari makna—kerja akan tetap menjadi bagian dari kisah besar kita sebagai spesies yang tidak hanya hidup, tapi juga ingin tahu mengapa kita hidup. Kita tidak bekerja sekadar untuk mencari uang, kan?