Ayah atau Bapak

Pagi itu, matahari belum sepenuhnya matang. Tapi senyum kami sudah lebih dulu menyala. Aku dan Iliana naik kereta api mainan yang berjalan pelan, seperti waktu yang sengaja memperlambat langkahnya agar kami sempat tertawa lebih lama. Ia duduk di pangkuanku, menggenggam dunia dalam tawa kecilnya yang pecah seperti musim semi. Tangannya melambai, seolah menyapa seluruh alam. Dan aku, seperti biasa, hanya bisa mengamini bahwa tak ada yang lebih penting di bumi ini daripada detik-detik yang kutebus dengan kesadaran penuh: aku di sini, bersamanya.

Tak lama setelah itu, masih di bawah langit siang yang hangat, kami berfoto bertiga. Aku, Iliana, dan Nana—perempuan yang telah menjadi teman seperjalanan dalam segala musim. Iliana di tengah kami, dengan topi kecil dan gaya tangan lucunya, seperti sedang menyusun bahasa baru untuk dunia. Kami tertawa, bukan karena ada lelucon, tapi karena bahagia itu sedang duduk diam di antara kami, dan kami cukup peka untuk menyadarinya. Selembar foto menangkapnya. Tapi tak ada kamera yang benar-benar bisa menangkap isi hati seseorang, kan? Yang tertangkap hanya kulitnya—yang terasa hanya oleh kami yang hidup di dalamnya.

Sore berlalu. Malam menjelang. Di ruang rumah yang lebih sunyi, Iliana tetap tak kehilangan cahayanya. Kali ini, bukan kereta yang menggelinding, tapi percakapan kecil antara seorang anak dan… seseorang yang ia panggil “Ayah.” Ayah. Kata itu keluar dari bibirnya seperti kelakar. Berkali-kali. Penuh tawa. Dan aku tertawa juga, berkali - kali ku koreksi “Bapak”, berkali - kali dia jawab “Ayah”. Tapi di dalam dada, ada desir aneh, seperti daun jatuh yang tak pernah kau rencanakan.

Bukan karena aku tak suka dipanggil “Ayah”. Tapi karena diam-diam, aku sedang menanam harap agar ia tumbuh mengenal kata “Bapak”—dengan segala rasa, sejarah, dan tanah air yang melekat di dalamnya. Tapi anak-anak tak bisa diatur seperti kamus. Mereka punya bahasa sendiri. Dan Iliana, kecilku itu, sedang menulis puisinya sendiri lewat panggilan-panggilan kecil, Ibunya pun sering dibercandai dengan dipanggil “Mami”.

Malam itu, aku membiarkannya. Biar saja aku “Ayah” hari ini. Mungkin besok aku akan jadi “Bapak”, atau “Abah” (Iliana jadi anak abah dong sama kayak bapaknya, hihi). Atau, lebih mungkin lagi: hanya jadi seseorang yang mencintainya tanpa syarat, tak peduli bagaimana ia menyebutku. Karena dalam senyumnya, aku telah menemukan panggilan paling tulus: rumah.