Malam di Solo turun pelan-pelan seperti ibu meninabobokan anaknya. Langitnya hitam pekat tapi hangat, seperti selimut yang dibagikan Tuhan kepada kota-kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di malam seperti ini, langkah kaki kami menuju ke Wedangan Pak Toyo, menyusuri sisi timur Pura Mangkunegaran. Aku, Nana—istriku yang matanya selalu penuh cerita, dan Iliana—putri kecilku yang rambutnya melambai seperti doa-doa yang belum selesai, berjalan beriringan.
Wedangan itu bukan sekadar tempat makan. Ia seperti ruang tamu kota. Ada bapak-bapak yang bercakap tentang politik sambil menyendokkan nasi kucing, ada anak muda yang mencicipi nostalgia lewat segelas teh jahe, dan ada kami bertiga—menyisip waktu agar tak terlalu cepat berlalu. Iliana menunjuk agar - agar yang kenyal.
Selesai dari sana, kami lanjut ke Alun-Alun Kidul, tempat yang seperti halaman belakang rumah masa kecil. Lampu-lampu taman bersinar sayup, dan suara musik dari warung-warung kecil bercampur dengan tawa remaja yang mencoba berjalan di antara dua pohon beringin dengan mata tertutup. Sementara itu Iliana sibuk mengamati kerbau - kerbau.
Perjalanan malam kami berlanjut. Motor melaju pelan di jalanan basah sisa hujan. Dan di sanalah ia berdiri: Keraton Kasunanan Surakarta, megah di tengah keheningan, seperti cerita lama yang masih belum selesai ditulis.
Keraton Kasunanan Surakarta bukan sekedar bangunan. Ia adalah naskah yang ditulis oleh waktu, lembar demi lembar, sejak tahun 1745. Berdiri di Kelurahan Baluwarti, keraton ini adalah jantung budaya Jawa yang tetap berdetak, meski zaman berubah dan bising semakin ramai. Gerbangnya, ukirannya, bahkan lantai-lantainya—semuanya seperti bicara dalam bahasa masa lampau, yang hanya bisa dipahami oleh hati yang mau mendengarkan.
Di bagian depannya menyambut seperti seorang pangeran tua yang masih gagah. Atap tumpang dan hiasan ukiran di atas pendopo berbaur dengan cahaya lampu, menciptakan siluet yang menggetarkan. Di balik gerbang itu, ada museum, tempat benda-benda pusaka disimpan dengan tenang. Dan di sisi-sisinya, tembok-tembok tebal melindungi bukan hanya bangunan, tapi juga martabat dan warisan leluhur.
Di Baluwarti, kehidupan berjalan berdampingan dengan sejarah. Ada anak-anak yang bermain sepak bola di lapangan yang dulunya mungkin tempat prajurit berbaris. Ada ibu-ibu yang menjemur pakaian dengan latar suara gamelan dari dalam keraton saat latihan tari. Semuanya seperti setia menjaga mimpi para raja agar tak dilupakan.
Baluwarti, sebuah kelurahan yang berada di jantung Kota Surakarta, menyimpan jejak sejarah yang lekat dengan keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Nama “Baluwarti” sendiri berasal dari kata “baluarti,” yang berarti benteng atau dinding pertahanan, mencerminkan fungsinya pada masa lalu sebagai wilayah yang dilindungi tembok keraton dan menjadi pusat pemerintahan serta aktivitas keluarga kerajaan. Dibangun sejak pemindahan pusat pemerintahan dari Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745 oleh Sunan Pakubuwono II, kawasan ini menjadi saksi bisu perjalanan dinasti Mataram Islam yang terpecah menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran. Hingga kini, Baluwarti masih mempertahankan atmosfer tradisionalnya, dengan gang-gang sempit, rumah-rumah abdi dalem, serta kegiatan budaya yang terus hidup berdampingan dengan arus modernitas.
Malam itu kami pulang dengan hati yang hangat. Iliana tertidur di pangkuan Nana, dan aku menyetir sambil sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keraton itu belum benar-benar hilang dari pandangan. Tapi bahkan jika tak lagi terlihat, aku tahu: malam itu, Solo menyimpan kami dalam ingatannya. Dan keraton, dengan segala diam dan agungnya, telah menyelipkan sebuah pelajaran ke dalam perjalanan singkat kami—bahwa sejarah bukan sesuatu yang jauh, melainkan sesuatu yang kita lewati, kita rasakan, dan mungkin, kita wariskan.