Hibernasi

Hari ini aku pergi ke Klinik Griya Sehat. Nama kliniknya terdengar seperti nama sebuah tempat peristirahatan para pertapa Jawa yang bijak dan murah senyum. Padahal, isinya ya standar: dokter muda dengan jas putih, perawat yang ramah tapi sibuk, dan bau khas obat antiseptik yang mengingatkanku pada lemari obat rumah masa kecil.

Selesai berobat, aku berjalan pulang dengan langkah pelan-pelan. Entah kenapa, walau sakitnya ringan, tubuhku seolah ingin menyerah sepenuhnya pada gravitasi tempat tidur. Mungkin ini cara tubuh berkata, “Sudah, cukup. Tidurlah.” Dan aku, manusia biasa yang masih kalah oleh dinginnya kasur dan empuknya bantal, menuruti permintaan itu tanpa perlawanan.

Hari itu—hari ini maksudku—waktu seolah diam. Aku tidur. Tidur panjang. Tidur yang tak lagi bisa dibedakan apakah ini tidur siang, tidur sore, atau tidur karena sudah jenuh menjadi orang dewasa. Aku terbangun hanya sebentar, untuk minum, ke kamar mandi, lalu kembali tenggelam.

Kepalaku masih terasa ringan seperti kapas, tapi tidak lagi pening. Dan di antara mimpi-mimpi ganjil yang berkelebat, ada satu mimpi yang rasanya nyata sekali—tentang aku duduk di ruang kerja, mengenakan pakaian rapi, memandangi layar komputer yang penuh dengan angka dan deadline. Ah, itu rupanya bukan mimpi. Itu kenyataan yang akan dimulai besok.

Besok aku mulai masuk kerja lagi. Dunia nyata menanti, dan tempat tidur yang nyaman ini harus aku khianati untuk sementara waktu. Tapi hari ini, biarlah ia jadi hari yang kudedikasikan sepenuhnya untuk tubuhku yang lelah. Sebuah hari di antara ratusan hari, di mana aku memilih untuk tidak menjadi siapa-siapa—hanya seorang pasien, seorang manusia biasa, yang butuh tidur panjang setelah ke klinik Griya Sehat.