Hujan Turun Lagi

Langit sore tadi seperti sedang menyimpan sesuatu. Aku tahu, dari sejak langkah pertama meninggalkan meja kerja, bahwa ada yang aneh. Angin tidak biasa, membawa bau tanah yang belum basah. Udara seperti menggigil pelan, dan langit berwarna perak muram, menggantungkan awan-awan berat di langit-langit kota yang penuh cerita tak selesai.

Aku ingin pulang. Lebih dari apa pun sore ini, aku ingin cepat-cepat tiba di rumah. Di tempat di mana suara langkahku akan disambut oleh dua tangan mungil yang melingkar di pinggang, dan suara kecil yang tak sabar berkata, “Bapak! Lihat coretanku hari ini!” Tapi hidup, seperti biasa, punya selera humor yang unik.

Ketika aku melangkah ke luar, hujan turun—bukan rintik-rintik lembut yang bisa ditawar dengan payung, tapi hujan yang marah. Deras. Seperti langit yang membuka kerannya dan lupa menutup kembali. Jalanan berubah jadi aliran sungai, dan trotoar mengkilap seperti cermin yang pecah-pecah oleh genangan.

Aku berteduh di beranda kantor. Mewah dan dingin. Atapnya tinggi menjulang, seperti bangunan di cerita-cerita masa kecil, tempat para raja duduk memandang hujan dan waktu. Lantainya dipenuhi mozaik klasik, merah tua dan biru laut, berpola bunga-bunga yang entah sejak kapan mulai kehilangan warnanya karena diinjak terlalu sering oleh langkah tergesa.

Dari balik kaca-kaca besar di sisi kanan, aku melihat pohon-pohon palem berdiri basah. Jalanan di luar menjadi semacam dunia lain yang jauh dan tak terjangkau, padahal hanya seberang pagar. Aku mengeluarkan ponsel. Layarnya buram oleh titik-titik air yang ikut masuk bersama angin. Kutulis pesan singkat:

“hujan deras sekali”

Kukirimkan, lalu kutatap lagi langit yang tak berubah. Seperti hati yang keras kepala.

Dalam diam, aku berpikir tentang segala hal yang sederhana tapi bermakna: suara ketukan sendok di cangkir teh, wangi rambut anakku saat dia tertidur di pangkuanku, dan tawa kecilnya saat menceritakan hal-hal sepele yang baginya seperti petualangan besar. Di dunia tempat aku berdiri sekarang, semua terasa jauh.

Aku melihat jam. Waktu berjalan lambat saat kita sedang menunggu. Tapi ada satu hal yang kutahu pasti: rindu itu tidak kenal cuaca. Ia tidak bisa ditahan hujan, tidak bisa dilarang oleh badai. Ia tetap akan berjalan, menyusup lewat angin, mengetuk jendela, dan berbaring di sisi orang yang kita cinta, walau tubuh kita belum sampai.

Dan barangkali, saat ini Iliana sedang duduk di sofa, menggambar awan dan pelangi. Mungkin ia bertanya pada ibunya, “Kenapa Bapak belum pulang?” Dan ibunya akan menjawab lembut, “Karena hujan sedang deras, Nak. Tapi Bapak akan datang. Sedikit terlambat, tapi tetap datang.”

Karena pulang, seperti cinta, bukan tentang waktu. Tapi tentang janji yang meski tertunda, tak pernah dibatalkan. Aku menarik napas panjang, merapatkan jaket, dan duduk lebih dalam di bawah atap yang kering. Hujan masih turun. Tapi aku sudah memilih: menunggu. Karena di ujung hujan ini, ada sepasang mata kecil yang akan memelukku tanpa syarat. Dan itu lebih dari cukup.