Pagi itu langit Solo mendung seperti kain abu-abu yang terhampar di jemuran waktu. Tapi di rumah kecil kami, pagi terasa hangat. Hangat karena senyum Iliana yang baru bangun dan bertanya dengan suara serak, “Ibu mana?” Aku memeluknya erat dan berkata, “Ibu ke luar sebentar, beli soto dan kupu - kupu.” Kalimat itu keluar begitu saja, sederhana, dan cukup untuk menjelaskan segala perasaan rumit tentang perpisahan sementara kepada anak berusia dua tahun. Baginya, dunia belum serumit orang dewasa. Ia hanya tahu, jika ibunya tidak ada, maka seseorang harus bilang ke mana ia pergi, dan itu cukup.
Kami duduk di ruang tengah. Televisi mati karena tak ada yang benar-benar kami tonton. Iliana sibuk dengan tempat makan barunya—berbentuk gajah, berwarna merah muda, dengan telinga yang bisa dibuka tutup. Ia makan dengan semangat luar biasa. Setiap sendok yang masuk ke mulutnya adalah kemenangan kecil bagiku. Ide tempat makan itu kami temukan secara tidak sengaja saat makan di Imperial Kitchen. Mereka menyajikan nasi dalam wadah berbentuk helikopter. Waktu itu Iliana langsung tertarik dan makan dengan lahap. Sejak itu, kami jadi pemburu bentuk-bentuk ajaib untuk wadah makan.
Menjelang siang, kami pergi ke Ayam Goreng Mulyani. Tapi seperti biasa, Iliana membuat keputusan sendiri. Ia ingin makan burger, dan tak jauh dari sana, ada sebuah kedai bernama “Makan Daging.” Nama yang terlalu jujur, mungkin, tapi justru karena itu, Iliana menyukainya. Ia memegang burger itu dengan dua tangan mungilnya, mencicipinya dengan khusyuk seperti seorang peneliti rasa. Setelah makan, kami meluncur ke Solo Paragon. Tujuan kami jelas: XXI. Hari ini akan jadi hari yang besar dalam hidup Iliana, meskipun ia belum tahu. Pengalaman pertamanya menonton film di layar lebar. Film yang kami pilih adalah Jumbo, film animasi Indonesia yang sejak beberapa hari lalu menghiasi beranda media sosial dengan kabar baik dan pujian.
Kami membeli popcorn caramel. Iliana langsung tertawa kecil ketika mendengar suara “pop” dari mesin pembuatnya. Ia memegang ember kecil popcorn seperti memegang harta karun. Lalu kami masuk ke dalam studio. Cahaya meredup, dan dunia seketika menjadi sunyi kecuali suara anak-anak yang menahan napas karena tak sabar.
Film dimulai. Iliana duduk di kursinya, kakinya yang pendek menggantung tanpa mencapai lantai. Matanya terpaku pada layar. Jumbo adalah kisah tentang Don, anak laki-laki sepuluh tahun yang bertubuh besar. Karena tubuhnya, teman-teman memanggilnya “Jumbo.” Sebuah panggilan yang terdengar lucu di luar, tapi bisa tajam di dalam. Ia merasa kecil di dalam tubuhnya yang besar, merasa tak pantas bersuara, merasa tak pantas bermimpi.
Iliana ikut menyelami setiap emosi. Saat Don kehilangan buku dongeng peninggalan orangtuanya, wajah Iliana cemberut. Saat muncul peri kecil bernama Meri, matanya berbinar. Ia bahkan sempat melompat dari kursi saat ada adegan kejar-kejaran yang menegangkan. Saat Don dan teman-temannya tertawa, Iliana pun tertawa. Tawa yang jernih, yang tidak mengenal sinisme atau ironi, hanya tawa karena tawa itu sendiri. Lalu lagu itu datang.
Kala nanti badai ‘kan datang. Angin akan buat kau goyah. Maafkan, hidup memang. Ingin kau lebih kuat. Andaikan saat itu datang. Kami tak ada menemani. Aku ingin kamu mendengar. Nyanyian ku di sini. Sedikit demi sedikit. Engkau akan berteman pahit. Luapkanlah saja bila harus menangis. Anakku, ingatlah semua. Lelah tak akan tersia. Usah kau takut pada keras dunia. Akhirnya takkan ada akhir. Doaku agar kau selalu. Arungi hidup berbalut senyuman di hati. Doaku agar kau selalu. Ingat bahagia meski kadang hidup tak baik saja. Nyanyian ini bukan sekadar nada. Aku ingin kau mendengarnya. Dengan hatimu bukan telinga. Ingatlah ini bukan sekadar kata. Maksudnya kelak akan menjadi makna. Ungkapan cintaku dari hati
Lagu itu menusuk. Bukan karena nadanya, tapi karena kalimatnya seperti ditulis untuk setiap orangtua yang diam-diam takut tidak bisa selalu ada. Lagu itu adalah pelukan yang dijahit dari suara, untuk anak-anak yang mungkin suatu hari harus berjalan sendirian. Kelak, ketika Iliana sudah mengenal ribuan kata, aku akan menyanyikan lagu itu untuknya. Mungkin saat ia jatuh cinta untuk pertama kali, atau saat ia patah hati, atau saat ia ragu atas hidup yang tak selalu lembut.
Setelah film selesai, kami keluar dari studio dengan hati yang penuh. Kami duduk sebentar di bangku dekat pintu keluar, berbagi telur rebus yang kami beli dari seorang bapak di sudut mall. Iliana makan tanpa suara. Tangannya belepotan seperti biasa, tapi matanya masih mengingat adegan-adegan dari film.
Sebelum pulang, kami mampir ke Bento Kopi Klodran. Aku membeli mobil remote control—mainan kecil yang entah untuk Iliana atau untuk inner child-ku. Kami duduk di pojokan, menunggu Nana pulang dari Jogja. Dan ketika akhirnya Nana muncul di pintu, Iliana berteriak kecil dan berlari ke pelukan ibunya. Mereka berpelukan seperti dua benua yang terpisah terlalu lama. Nana membawakan cokelat Monggo berbentuk kupu-kupu. Sayangnya cokelat itu mencair dalam perjalanan. Tapi Iliana tetap bahagia. Karena yang mencair hanya cokelatnya, bukan cinta di dalamnya.
Malam itu aku mendengarkan Maiyah dari YouTube, padahal tempat acaranya hanya 20 menit dari rumah. Tapi malam sudah cukup indah untuk tidak disela. Di sela-sela alunan kata Cak Nun, aku membaca tweet: Film Jumbo hari ini menembus 1 juta penonton, di hari ketujuh penayangannya. Aku tersenyum. Satu juta orang menonton Jumbo, tapi hanya satu Iliana yang duduk di sebelahku hari ini, melihat dunia untuk pertama kalinya lewat layar bioskop. Dan dalam hidupku, itulah yang paling bermakna.