Laweyan dan Ingat Bahagia Meski Kadang Hidup tak Baik Saja


Sore itu, Solo sedang ramah. Langitnya tidak sedang marah, tidak pula sedang sedih. Ia teduh, seperti hati seseorang yang baru saja memaafkan dunia. Kami bertiga—aku, Nana istriku, dan Iliana, anak kami yang masih mungil tapi sudah penuh tanya dalam sorot matanya—melaju pelan di atas Scoopy warna pink. Motor kecil itu telah menjadi saksi banyak sore kami, dan hari ini pun, ia membawakan janji petualangan kecil. Iliana duduk di antara kami. Tubuhnya yang mungil dengan jaket berwarna ungu muda, dan sepatu pink kesukaannya. Tangan mungilnya menggenggam erat ujung jaket ibunya, kadang menunjuk, kadang bertepuk tangan ketika melihat sesuatu yang menurutnya lucu.

Tujuan pertama kami adalah kawasan UMS—tempat di mana aroma jajanan kaki lima seperti memiliki kekuatan magis yang bisa menarik siapa saja. Kami berhenti di trotoar yang tak rata semennya, di depan gerobak papeda gulung yang digoreng di atas wajan bulat. Ibu penjualnya berseragam sederhana. Tangannya cekatan menggulung papeda yang lengket, mengoleskannya dengan saus merah menyala, lalu menaburkan bumbu. Iliana tertawa kecil saat melihat bentuknya seperti ulat besar.

Setelah papeda, kami pindah ke es teh. Bukan es teh di kafe yang penuh estetika dan nama-nama rumit. Ini es teh gelas plastik, dengan sedotan dan tutup yang sederhana. Rasanya? Manis, dingin, dan entah kenapa selalu terasa seperti masa kecil. Lanjut, ada penjual cireng goreng. Cirengnya masih panas, renyah di luar dan kenyal di dalam, digigit bunyi ‘kresss’ pelan di tengah suara motor lalu lalang. Nana menyuapi Iliana satu gigitan kecil. Anakku mengunyah pelan. Kami juga sempat berhenti di gerobak jasuke. Jagung manis yang dikukus, dicampur susu kental manis, dan ditabur keju parut. Iliana menyuap sendiri pakai sendok plastik kecil—beberapa jagung jatuh ke bajunya, tapi ia tertawa, bangga seperti baru menaklukkan gunung.

Sore itu, matahari mulai condong ke barat saat aku, Nana istriku, dan Iliana putri kecil kami memutuskan untuk menjelajahi Kampung Batik Laweyan. Dengan motor Scoopy pink kesayangan, kami membelah jalanan Solo yang mulai lengang. Iliana duduk di antara kami, matanya berbinar mengamati bangunan-bangunan yang kami lewati. Memasuki kawasan Laweyan, Scoopy pink kami melaju perlahan melewati gapura utama yang menjadi penanda wilayah bersejarah ini. Rumah-rumah kuno dengan tembok tinggi terlihat berjajar, berdiri kokoh sebagai saksi bisu kejayaan para saudagar batik tempo dulu. Kami mengendarai motor dengan kecepatan rendah agar bisa menikmati setiap sudut kampung batik yang kaya akan sejarah ini.

Iliana tampak terkagum-kagum melihat regol-regol megah bergaya Eropa dengan ukiran Jawa yang rumit di sepanjang jalan yang kami lalui. Beberapa pintu gerbang tinggi menjulang dengan ornamen klasik yang menunjukkan status ekonomi pemiliknya sebagai juragan batik kaya pada masanya. Nana, yang memang penggemar batik, tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya saat kami melewati beberapa workshop terbuka. Dari atas motor, kami bisa mengintip aktivitas para pengrajin yang sedang tekun membatik. Cahaya sore menyinari tangan-tangan lincah yang menggoreskan canting di atas kain.

Aroma khas malam batik tercium samar-samar saat kami melintas di depan rumah produksi yang pintunya terbuka. Kepulan uap dari proses "ngelorod" terlihat dari kejauhan, menandakan aktivitas menghilangkan lilin dari kain batik yang baru selesai diwarnai. Kami terus berkendara menyusuri gang-gang sempit. Sinar keemasan matahari sore membentuk bayangan panjang di tembok-tembok tinggi khas rumah juragan. Beberapa rumah memperlihatkan pendopo luas dengan tiang-tiang kokoh, ada juga yang tertutup rapat oleh "benteng" tembok yang menjulang.

Iliana menunjuk-nunjuk dengan semangat saat kami melewati deretan showroom batik yang memajang aneka kain dengan motif tradisional Solo yang khas—Sidomukti, Sidoluhur, dan Truntum yang indah. Warna-warni kain batik yang terpajang di etalase toko membuat pemandangan semakin semarak. Motor Scoopy pink kami terus melaju perlahan, menikung di setiap persimpangan gang untuk menyusuri seluruh penjuru Kampung Batik Laweyan. Kami melewati beberapa rumah heritage yang telah direstorasi menjadi kafe dan penginapan. Mural-mural artistik tentang proses membatik dan sejarah Laweyan terlihat kontras di dinding-dinding putih yang kami lewati.

Saat hari mulai gelap, lampu-lampu di sepanjang jalan mulai dinyalakan, memberikan nuansa hangat pada bangunan-bangunan kuno. Workshop dan rumah produksi satu per satu menyalakan penerangan, menciptakan pemandangan yang berbeda dari Laweyan di siang hari. Aroma khas malam batik bercampur dengan wangi masakan dari rumah-rumah penduduk menambah sensasi pengalaman berkeliling kami.

Iliana mulai menyandarkan kepalanya pada punggungku, kelelahan setelah perjalanan sore kami. Nana memeluknya dari belakang agar putri kecil kami tetap aman. Sebelum benar-benar meninggalkan Laweyan, kuputuskan untuk mengitari kampung ini sekali lagi, menikmati perpaduan masa lalu dan kekinian, tempat di mana warisan budaya tetap hidup dan bernafas di tengah hiruk pikuk modernisasi. Motor Scoopy pink kami akhirnya melaju meninggalkan Kampung Batik Laweyan. Kami membawa pulang kenangan indah tentang warisan budaya yang tetap lestari, yang terekam jelas dalam ingatan melalui perjalanan singkat berkeliling kampung batik bersejarah ini.

Dari Laweyan, kami lanjut ke Sriwedari. Kami melewati gerbangnya yang tua, perlahan masuk ke taman yang pernah menjadi istana kecil rakyat Solo. Kini, tak ada lagi wahana putar dan tawa anak-anak yang melengking dari roller coaster mini. Yang tersisa adalah hamparan hijau luas, lapangan tempat rusa-rusa jinak berkeliaran. Iliana bersorak saat melihat rusa. Kami tertawa. Kami tidak membeli wortel dari pedagang kecil di pinggir taman seperti biasanya. Iliana, dengan hati-hati, menyodorkan sisa – sisa kangkung ke rusa coklat muda yang duduk bersantai. Binatang itu menjulurkan lidahnya, mengambil kangkung dari tangan kecil Iliana. Matanya membelalak. Ia tidak takut, hanya heran. Dan mungkin, bahagia.

Di sudut Sriwedari, kami sempat mampir ke Mie Saerah 57. Sebuah tempat makan yang tersembunyi di sisi selatan gedung wayang orang. Aromanya menggoda, lampu-lampunya temaram. Tapi sayang, mereka baru buka kloter kedua pukul 19.30. Dan langit sudah mulai gelap. Iliana menggosok-gosok matanya. Maka, kami tak jadi makan di sana. Kami memilih berjalan ke Masjid Al Hidayah, masjid mungil yang ada di dalam taman Sriwedari. Langit sudah gelap, dan masjid itu memancarkan cahaya kuning lembut dari jendelanya. Kami salat magrib di sana, dalam keheningan yang menenangkan. Di luar, suara adzan yang tadi menggema sudah reda, berganti suara jangkrik dan dedaunan yang tertiup pelan.

Setelahnya, kami pulang. Scoopy pink kami kembali melaju, pelan menyusuri jalanan malam Solo. Lampu jalan menyala satu-satu seperti doa-doa kecil sepanjang Solo - Colomadu. Di belakang, Iliana sudah hampir tertidur dalam pelukan Nana. Di kepalaku, ada satu kalimat sederhana yang terus terulang: “Hari ini tak besar. Tapi indah. Dan itu cukup.”

Sesampainya di rumah, aku duduk sembari merenungkan satu pertanyaan sederhana namun membingungkan: apakah bekerja hanya disebut bekerja jika menghasilkan uang? Tak kutemukan pernyataan itu secara harfiah dalam buku-buku tebal penelitian, namun semangatnya... ah, semangat itu berhembus kencang di dunia ekonomi, bisnis, dan nasihat-nasihat motivasi yang menempel di dinding-dinding perkantoran. Seolah kerja adalah mesin, dan uang adalah satu-satunya bahan bakarnya.

Mungkin ini warisan dari sebuah dunia yang diatur oleh angka dan grafik pertumbuhan—dunia yang begitu percaya pada kapitalisme hingga kadang lupa bahwa manusia punya hati. Tapi hatiku menolak definisi itu. Karena aku tahu, di sudut-sudut kampung, ada yang bekerja tanpa digaji: seorang ibu yang menggendong dunia di punggungnya, seorang relawan yang menyeka peluh demi orang lain, seorang guru yang tetap mengajar meski dapur nyaris tak berasap. Pun aku, menulis secara rutin setiap hari, tidak terasa sudah hari ke 110, tak menghasilkan se rupiahpun, tapi semoga nantinya bisa dijadikan kenangan manis untuk Iliana ketika ia beranjak dewasa.

Dan di situlah, aku mulai memahami. Bahwa kerja bukan sekadar soal uang yang berpindah tangan. Ia bisa jadi soal makna, soal cinta, soal pengabdian yang tak terbalas oleh rupiah, tapi penuh oleh kebanggaan. Maka, jika ingin benar-benar memahami arti kerja, kita perlu membuka mata lebar-lebar—melihat tak hanya ke lembar penghasilan, tapi juga ke dalam dada manusia yang bekerja karena percaya, bukan karena dibayar.