Lima Tahun

Aku memandang wajahnya yang dihiasi cahaya senja, seperti potret keanggunan Surakarta ketika matahari merendah di ufuk barat. Dialah istriku, perempuan yang sejak lima tahun lalu menghiasi hari-hariku dengan keteguhan hatinya dan tawa yang sanggup meneduhkan badai. Setiap kali kutatap senyumnya, kenangan akan awal pertemuan kami mengalir deras, bagaikan riak Bengawan Solo yang terus menderu tanpa pernah berhenti. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana perasaan gugup dan bahagia bercampur aduk di dadaku saat pertama kali kami saling menyapa di Siring Rantau, sebuah danau kecil di Kota Rantau Kalimantan Selatan.

Ia selalu menyukai aroma khas Surakarta, yang ternyata lebih dari Yogyakarta—campuran wangi teh melati yang dibawa angin dari Keraton, bunyi kecipak air dari Taman Balekambang, dan desir pelan langkah-langkah kaki di Pasar Gede. Mungkin karena itu pula, setiap pertemuan kami selalu terasa begitu sakral dan penuh keajaiban, seolah-olah seluruh kota ikut berkonspirasi membisikkan nada-nada indah ke telinga kami. Lima tahun lalu, tepat di hari ini, kami mengikat janji di hadapan keluarga dan para sahabat. Di ruang tamu rumah keluarganya, kami menukar senyum penuh harapan, lalu menyusuri hari-hari penuh warna.

Pernikahan kami berjalan tidak melulu lurus seperti Jalan Slamet Riyadi yang menjadi urat nadi kota ini. Ada kalanya kami terjebak macet emosi, berselisih pendapat tentang hal-hal remeh, seperti memilih jajanan cumi bakar di pedagang kaki lima di dekat Pasar Gedhe, atau menentukan warna cat dinding ruang tamu yang belum pernah kami ganti. Pernah pula, di suatu pagi yang ganjil, kami bertengkar hanya karena aku terlalu lama menimbang hendak membeli sate kambing di depan gang perumahan atau makan soto di pinggir Donohudan. Namun, setiap perbedaan selalu berakhir dengan senyuman yang tak terduga. Setelah keributan kecil itu, kami saling meminta maaf sambil tergelak, seolah menertawakan kebodohan yang tercipta karena rasa lapar.

Pada tahun pertama, aku masih sibuk menyesuaikan diri dengan kebiasaannya menyusun barang-barang di rumah secara presisi. Semua harus tertata, seakan-akan kami sedang mempersiapkan pameran di museum seni rupa. Sedangkan ia, dengan sabar menyesuaikan diri dengan kebiasaanku menaruh sepatu sembarangan, atau menumpuk buku-buku lama di sudut ruangan. Tahun kedua, kami mulai membangun mimpi-mimpi kecil, seperti menabung untuk membeli piano yang kupandangi setiap kali kami melintasi toko alat musik. Ketika tabungan itu akhirnya cukup, kami berdua menggotong piano itu dengan susah payah ke rumah kami, tertawa sambil berlumuran keringat. Tahun ketiga, kami belajar memahami makna kehilangan dan perjuangan, saat salah satu di antara kami jatuh sakit dan harus bolak-balik ke rumah sakit. Ia merawatku dengan kelembutan, membisikkan kalimat-kalimat penghiburan. Aku selalu saja merepotkannya, bahkan sampai sekarang.

Lalu datanglah tahun keempat, ketika kami merasa seakan-akan dunia berputar lebih cepat daripada biasanya. Aku sibuk bekerja, ia sibuk mengurus Iliana. Kami jarang duduk bersama, hanya sekadar menyesap teh hangat sore hari di Colomadu. Namun setiap kali ada waktu luang, ia akan menungguku di teras rumah, menawari segelas wedang ronde hangat, lalu kami bercerita tentang hal-hal sepele yang justru menghidupkan kembali kehangatan di antara kami.

Dan sekarang, tahun kelima telah tiba. Hari ini, tepat lima tahun sejak hari itu, aku menatap wajahnya yang semakin memancarkan kedewasaan. Ia bagai sekuntum bunga yang terus tumbuh, perlahan tapi pasti, memekarkan kelopaknya di tengah riuh rendah suara klakson becak dan derap langkah penjual asongan di jalanan Solo. Mungkin kelihatannya sepele, tapi bagiku, lima tahun adalah perjalanan panjang yang penuh tikungan tajam, tanjakan terjal, dan pemandangan menakjubkan. Setiap momen adalah petualangan, persis seperti menyusuri gang-gang sempit di sekitar Pasar Triwindu, di mana setiap sudut menyimpan rahasia dan cerita kuno.

Aku memandang matanya, mengingat detik-detik ketika kami saling mengucapkan janji untuk saling mencintai. Perempuan ini adalah rumahku, pelabuhan terakhir saat aku lelah bekerja. Ia adalah musim semi di tengah panasnya kota Solo, yang kadang membuat keringatku mengucur deras. Ia adalah irama lembut gamelan yang mengalun di pagelaran seni keraton, menuntun jiwaku menemukan ketenangan.

Di hari yang istimewa ini, tak ada kado mewah atau pesta meriah. Hanya kami berdua, berdiri di Gramedia Slamet Riyadi, menatap langit Surakarta yang perlahan menggelap. Kupandangi senyumnya, yang entah kenapa terasa semakin meneduhkan hati. Kemudian, perlahan-lahan, ia menyodorkan tangannya. Aku meraih tangan itu, merasakan kehangatan yang sama seperti lima tahun silam. Tak ada kata yang perlu diucapkan, tak ada pertanyaan yang perlu dijawab. Kami mengerti bahwa perjalanan ini masih panjang, seperti sungai yang tak henti-hentinya mengalir ke muara.

Aku membayangkan, mungkin esok pagi kami akan mengunjungi tempat-tempat kesayangan kami di kota ini. Menyusuri trotoar di Jalan Slamet Riyadi, berhenti sebentar untuk mencicipi tengkleng di sudut jalan, lalu menyeberang ke Ngarsopuro. Atau barangkali kami akan melangkah lebih jauh ke Taman Sriwedari, duduk di bangku tua sambil berbincang tentang mimpi yang belum sempat tergapai. Semua itu bukanlah rencana pasti, melainkan bisikan hati yang membuat kami selalu ingin berkelana bersama.

Wajahnya terlihat teduh dalam balutan kerudung hitam, menegaskan kesederhanaannya yang selalu menaklukkan gelora jiwaku. Di bibirnya tersungging senyum yang mungkin tak akan pernah kupahami sepenuhnya, sebab di sanalah misteri dan keindahan cinta bertaut menjadi satu. Dan di saat senja menepi, kusadari satu hal: tak peduli seberapa jauh kami akan melangkah, kami selalu punya rumah yang sama—bernama cinta dan kebersamaan.

Malam kian larut. Di kejauhan, terdengar bunyi klakson bis yang seolah menyanyikan lagu selamat ulang tahun pernikahan. Angin membelai lembut wajah kami, seakan mengantar restu dari segenap penjuru kota. Lima tahun ini telah mengajari kami tentang keteguhan, pengorbanan, dan kebahagiaan dalam hal-hal paling sederhana. Di sampingnya, aku merasa seluruh dunia merayakan kebersamaan kami, menyambut cerita-cerita berikutnya yang masih tersembunyi di balik tikungan waktu. Banyak hal belum tertulis, lagi pula yang pasti aku tau, ia tidak tahan membaca tulisan yang panjang - panjang, seperti kebanyakan tulisanku akhir - akhir ini, dan lebih suka video pendek reels / vt, sialnya aku tidak terbiasa membuat hal semacam itu.