Di bangku belakang mobil yang melaju perlahan di bawah langit yang samar hujan, seorang anak kecil duduk tenang. Namanya Iliana. Umurnya belum cukup untuk mengerti betapa berisik dunia, tapi ia sudah cukup bijak untuk memilih diam. Ia tenggelam dalam sebuah buku yang lebih besar dari wajahnya sendiri. Sebuah buku warna-warni dengan karakter hewan lucu, tapi yang lebih menarik dari semua itu adalah cara ia memeluk buku itu—seperti memeluk dunia yang ramah, yang tak menghakimi, yang hanya ingin berteman.
Aku memperhatikan kakinya yang bersilang lucu di atas car seat, kaus kaki putih yang tampak seperti kelopak bunga kapas, dan sepatu mungilnya yang satu menghadap ke kanan, satu ke kiri—seolah ia sedang dalam perjalanan ke mana pun yang ia inginkan, dan semua arah adalah kemungkinan baik. Di balik buku itu, mungkin Iliana belum tahu, bahwa hari ini ia sedang belajar sesuatu yang tak diajarkan di sekolah: Ia sedang belajar berdamai. Berdamai dengan diri sendiri. Tiba-tiba lagu Diri dari Tulus terputar di otakku.
Hari ini, tanpa sadar, ia mungkin sedang berkata pelan pada hatinya, “Maafkan ya, kalau kemarin aku menangis keras.” “Tak apa, hari ini aku ingin tersenyum lagi.” Dan dari balik halaman-halaman buku yang ia pegang erat, seakan ia sedang membisikkan mantra lembut, “Kau terlalu berharga untuk luka.” “Semua baik-baik saja.
Iliana tak tahu bahwa banyak orang dewasa di luar sana sedang mengejar damai, sedang memburu tenang yang tak kunjung datang, sedang terluka oleh ekspektasi yang tak pernah selesai. Tapi hari ini, Iliana menunjukkan kepada kita semua: damai itu bisa ditemukan dalam sebuah momen sederhana—dalam tenangnya hujan di kaca belakang, dalam hangatnya mobil yang berjalan perlahan, dalam buku bergambar yang membuka jendela dunia.
Ia belum mengerti kata ‘ampunan’, tapi caranya menatap dunia dengan mata yang belum tercemar kecewa, adalah bentuk paling murni dari memaafkan. Ia belum tahu betapa rumitnya ‘berjujur pada diri sendiri’, tapi ia sudah melakukannya: dengan duduk tenang, dengan membaca dengan hati, dengan tidak terburu-buru menjadi siapa-siapa. Anak ini, Iliana, sedang menanam benih ketenangan. Kelak, ketika badai datang dan angin mengguncangnya, semoga ia tetap ingat: bahwa pernah ada hari seperti ini, di mana semua baik-baik saja, dan dunia terasa cukup, karena ia cukup.
Iliana kecil, yang membaca bukan hanya untuk mengenal warna dan hewan, tapi untuk diam-diam belajar mencintai dirinya sendiri. Dan semoga nanti, saat ia dewasa dan merasa lelah oleh semua, ia akan mengingat momen ini, dan berkata pada dirinya di cermin, “Terima kasih sudah menjagaku. Hebat kamu, tetap di sini, tetap utuh.” Luka, luka, hilanglah luka. Biar senyum jadi senjata. Karena ia, seperti setiap anak di dunia ini, terlalu berharga untuk luka.