Hari ini, aku masuk kerja dengan tubuh yang rasanya seperti selembar kertas basah: lemas, ringkih, nyaris sobek. Tenggorokanku perih seperti habis menelan cabai rawit mentah. Kepalaku berat, batukku berdahak, dan napasku seperti harmonika tua yang dipaksa memainkan lagu gembira. Tapi ini hari pertama kerja setelah sekian lama, jadi aku menyeret tubuhku ke kantor, ditemani empat serangkai yang diresepkan dokter: Prednisone, Ambroxol, Masflu, dan Cefadroxil.
Obat-obat itu, kurasa, seperti karakter-karakter di novel. Prednisone, si jagoan pendiam yang menenangkan badai di dalam tubuh. Ambroxol, sang penyelamat paru-paru yang membujuk dahak agar pergi dengan baik-baik. Masflu, si ramai yang muncul dengan segala aksinya meredakan pilek dan demam, dan Cefadroxil, petarung sejati yang tanpa banyak bicara, membunuh bakteri satu per satu. Aku minum mereka semua dengan air hangat rumah, sebelum berangkat ke kantor, dengan ruang kantor yang pencahayaannya remang-remang dan ac yang kurang dingin, efisiensi? lalu menunggu keajaiban. Tapi yang datang malah rindu—rindu Iliana.
Maka sepulang kerja, aku mampir ke Container Kebab Baba Rafi, membeli satu kebab sapi untuk gadis kecilku. Saat aku sampai rumah, tubuhku semakin lunglai, tapi hati ini menguat walau tidak aku lihat Iliana membuka pintu sambil berseru, “Bapak!” Aku sodorkan kebab itu. Ia menerimanya seperti menerima piala. “Suka, Bapak! Iliana suka Kebab” katanya sambil tersenyum, dan dunia langsung menjadi tempat yang lebih baik. Ia menggigit kebab itu dengan mata berbinar, dan aku terdiam, menatapnya. Mungkin, penyembuh terbaikku hari ini bukan hanya dari apotek, tapi dari tawa dan gigitan kecilnya pada kebab Baba Rafi itu.
Dan malam ini, di antara napas yang masih berat dan tenggorokan yang belum pulih, aku merasa jauh lebih baik. Karena kadang, yang membuat kita sembuh bukan cuma obat. Tapi juga cinta yang sederhana—dan senyum seorang anak bernama Iliana.