Sakit dan Hal - hal Baik yang Datangnya Tiba - tiba

Di sepanjang sejarah Manusia, mungkin tak ada pengalaman yang begitu universal namun begitu membingungkan seperti rasa sakit. Dari pegunungan Andes hingga padang pasir Sahara, dari peradaban Tiongkok kuno hingga kota-kota metropolitan modern, manusia telah mengenal dan bergulat dengan rasa sakit—baik fisik maupun psikologis. Ia adalah bahasa purba yang tidak membutuhkan kata. Seekor bayi menangis saat perutnya perih. Seorang prajurit meraung ketika anak panah menembus pahanya. Seorang perempuan terisak tanpa luka yang tampak di kulitnya.

Namun meski begitu dekat dengan kita, rasa sakit tetap menjadi misteri. Apa sebenarnya tujuan dari rasa ini? Mengapa evolusi menciptakan sesuatu yang begitu menyiksa?

Dari sudut pandang biologis, rasa sakit adalah sistem alarm yang sangat canggih. Ia dirancang untuk memberi tahu otak bahwa sesuatu tidak beres, dan bahwa tindakan segera dibutuhkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Tanpa rasa sakit, manusia tak akan sadar saat kakinya terbakar api, atau saat kuman sedang melubangi jaringan tubuhnya. Dalam kasus langka, orang-orang dengan kondisi yang disebut Congenital Insensitivity to Pain bisa hidup tanpa rasa sakit, namun hidup mereka justru berakhir lebih pendek. Mereka melukai diri sendiri tanpa sadar. Luka yang tak terasa tidak dirawat. Tubuh mereka rusak perlahan, diam-diam.

Namun rasa sakit bukan hanya sekadar sinyal saraf. Ia adalah pengalaman. Dan pengalaman itu dipengaruhi oleh budaya, agama, filosofi, bahkan ekonomi.

Di banyak masyarakat tradisional, rasa sakit dipandang sebagai ujian. Dalam ajaran Buddha, sakit adalah bagian dari penderitaan yang tak terhindarkan, dan jalan menuju pencerahan justru melalui pemahaman atas penderitaan itu. Dalam Kekristenan abad pertengahan, sakit bisa dianggap sebagai hukuman atas dosa, atau bahkan sebagai berkah—cara Tuhan menyucikan jiwa. Seorang santa bisa menderita lepra, dan itu dianggap sebagai bentuk tertinggi dari pengabdian.

Bandingkan dengan dunia modern, di mana kita menuntut obat untuk setiap rasa nyeri, anestesi untuk setiap prosedur, dan pelarian bagi setiap penderitaan. Peradaban modern mengangkat kenyamanan sebagai nilai tertinggi. Kita melatih dokter, menciptakan teknologi medis canggih, dan mengembangkan farmasi yang mampu mematikan rasa sakit dalam hitungan menit. Ini adalah pencapaian luar biasa. Namun pertanyaannya: apakah kita sedang menyembuhkan manusia, atau sekadar menghindari bagian dari pengalaman menjadi manusia?

Karena sakit, meskipun menyiksa, seringkali membawa makna. Seorang ibu yang menahan rasa sakit saat melahirkan tidak hanya merasakan penderitaan biologis. Ia juga mengalami transformasi emosional dan identitas. Seorang atlet yang memulihkan cedera merasa bukan hanya dagingnya yang diperbaiki, tetapi juga tekad dan karakternya ditempa ulang.

Anehnya, dalam masyarakat yang paling mampu menghilangkan rasa sakit, kita juga menemukan epidemi penderitaan batin. Depresi, kecemasan, dan gangguan psikosomatik merajalela di negara-negara dengan akses medis terbaik. Ini memberi kita pelajaran penting: tidak semua rasa sakit bisa ditangani dengan obat. Beberapa jenis nyeri meminta kita untuk duduk diam bersamanya, mendengarkannya, dan bertanya: Apa yang ingin kamu katakan padaku?

Di masa depan, kita mungkin akan menciptakan dunia tanpa rasa sakit. Implan saraf bisa membisukan nyeri bahkan sebelum ia muncul. Kecerdasan buatan bisa mendeteksi penyakit lebih awal daripada tubuh sempat merasa terganggu. Namun kita harus bertanya: jika kita berhasil membungkam semua rasa sakit, apakah kita juga akan kehilangan kompas yang membimbing kita memahami tubuh, hidup, dan diri kita sendiri?

Karena mungkin, dalam dosis yang tepat, sakit adalah pengingat bahwa kita hidup—bahwa kita rapuh, dan bahwa dari rapuhnya itulah tumbuh empati, ketangguhan, dan makna.