Dinding-dinding rumah kami bergetar dengan tangis Iliana pagi ini, yang air matanya menjelma menjadi hujan kecil di lantai rumah. Bukan bunga-bunga yang tumbuh dari genangan itu, melainkan kesepian yang menunggu untuk membentangkan sayapnya. Boneka kelabunya ia genggam seperti jimat penolak rindu, sementara bibirnya yang mungil bergetar mengucap selamat tinggal yang tak rela.
"Bapak nanti balik cepat" bisikku sambil menyentuh pipi Iliana yang basah. Kata-kataku membentuk benang tak terlihat yang terus terhubung di antara kami sepanjang hari. Sementara aku melangkah ke dunia luar, kubayangkan Iliana menyimpan kesedihannya dalam genggaman tangan mungilnya. Kesedihan yang perlahan berubah warna—dari biru menjadi kuning, dari kuning menjadi merah keemasan—hingga akhirnya bertransformasi menjadi kegembiraan yang tak tertahankan.
Sore itu, tanpa kuketahui bagaimana caranya, Iliana muncul di kantorku. Ia tidak datang seperti anak kecil biasa—ia hadir bersama angin senja yang tiba-tiba menghangatkan setiap sudut gedung yang biasanya dingin dan kaku. Tawanya bergema di lorong-lorong, kulihat mengubah dokumen-dokumen membosankan menjadi penuh warna, dan komputer-komputer di sekitarku mendadak seakan menampilkan bunga-bunga digital di layarnya.
Setiap orang yang dilewati Iliana seakan tersihir oleh kehadirannya. Bahkan Pak Satpam yang tak pernah tersenyum sejak perang kemerdekaan, kini pipinya berkerut membentuk senyuman yang telah lama terlupakan. Ketika Iliana menemukanku di antara tumpukan kertas, kebahagiaan kami berdua memancar begitu terang hingga untuk sesaat, semua lampu di gedung kantor padam—seolah listrik sendiri mengakui kekalahannya terhadap cahaya kegembiraan kami.
Tak ada yang benar-benar kupahami bagaimana tangisan pagi bisa bermetamorfosis menjadi kebahagiaan senja yang menular. Tapi begitulah Iliana, anakku yang air matanya menyimpan rahasia hujan, dan tawanya menyimpan kekuatan mentari.