Ada sore yang datang seperti biasa, dan ada sore yang datang diam-diam lalu menculik sepotong hatimu tanpa kau sadari. Sore itu, aku menyaksikan sejenis keajaiban kecil di tengah jalanan biasa depan Asrama Haji Donohudan—tempat yang biasanya hanya jadi latar lewatnya mobil-mobil, derap sandal jemaah, dan pedagang kaki lima yang menjajakan jagung rebus dan balon gas.
Tapi sore ini lain. Seorang ibu berjilbab biru dongker duduk bersila di hadapan sebuah meja kayu sederhana. Di depannya, pasir berwarna magenta terhampar seperti daratan aneh dari planet imajinasi. Di sisi kirinya, seorang bocah perempuan berkacamata hijau—dengan rambut acak-acakan dan ekspresi paling serius yang pernah kulihat dari seorang manusia mungil—terlihat sibuk menggali, menimbun, dan mengangkat pasir dengan sendok mainan seolah sedang membangun peradaban.
Mereka berdua tidak bercakap banyak, tapi bahasa mereka begitu dalam. Gerakan tangan mereka seperti koreografi sunyi yang hanya bisa dimengerti oleh para penyair, seniman, atau orang-orang yang pernah benar-benar jatuh cinta. Tidak ada berisik, tidak ada penonton, hanya suara plastik mainan yang bersentuhan dengan pasir, dan sesekali, tawa kecil seperti bunyi lonceng dari masa kecil yang hampir kulupakan.
Aku berdiri beberapa langkah dari mereka, terpaku, memegang ponsel tak lupa untuk memotret. Sejujurnya, aku takut kalau memotret terlalu cepat, momen itu akan pecah seperti gelembung sabun. Sebab apa yang mereka alami bukan sekadar “bermain”. Itu bukan adegan sinetron sore. Itu adalah flow—keadaan paling jujur dan langka di mana seseorang hadir sepenuhnya, larut dalam aktivitas, lupa waktu, lupa diri, dan diam-diam bahagia.
Iliana, putriku, sedang berada di dalam dunianya sendiri—sebuah negeri imajiner di mana truk mainan bisa bicara, sendok plastik bisa jadi eskavator, dan pasir magenta bisa berubah jadi laut, gunung, atau kue ulang tahun. Dan Nana, istriku, tak hanya menonton dari pinggir. Ia ikut masuk, ikut menggali, ikut menyendok. Ia tidak bermain untuk menghibur. Ia bermain karena ia ikut percaya pada dunia kecil itu. Dan itulah yang membuatku tercekat.
Tidak semua orang dewasa bisa melakukan itu. Dunia orang dewasa dipenuhi tagihan, deadline, dan notifikasi. Dunia anak-anak hanya butuh satu hal: kehadiran. Dan Nana hadir sepenuhnya. Tanpa tergesa. Tanpa pura-pura.
Sementara matahari menurunkan tubuh emasnya di antara langit yang berawan tipis, karusel kecil di belakang mereka berputar pelan. Anak-anak lain naik kereta-keretaan, memegang boneka, tertawa. Tapi dunia di meja pasir itu terasa paling hidup. Paling nyata.
Aku membayangkan, dua puluh tahun dari sekarang, Iliana mungkin tidak ingat nama mainan-mainan itu. Tapi mungkin, saat ia berdiri menatap senja di kota lain, atau saat ia bermain dengan anaknya sendiri, tubuhnya akan diam-diam mengingat rasa ini—rasa dicintai sepenuhnya tanpa harus menjelaskan apa-apa.
Dan aku, bapak yang hanya berdiri menonton di kejauhan, merasa sudah cukup. Kadang, kita tak perlu jadi pusat panggung untuk merasa bagian dari pertunjukan terindah. Cukup menjadi saksi. Cukup menyimpan momen itu dalam hati, seperti melipat surat cinta yang tak pernah dikirimkan.
Sore itu, aku tahu, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang besar. Ia hadir dalam bentuk sederhana: pasir warna magenta, truk mainan kecil, seorang ibu berjilbab biru, dan seorang bocah berkacamata hijau yang menertawakan dunia dan akhirnya semuanya baik-baik saja.