Pagi itu, udara menggantung tenang seperti seseorang yang baru saja selesai berdoa. Jalan di depan rumah masih sepi. Belum ada klakson, belum ada teriakan, belum ada tergesa-gesa. Hanya suara langkah kecil Iliana—putriku—yang berlarian di atas aspal yang menghangat perlahan.
Ia bermain dengan anak tetangga. Di usia sekecil itu, mereka belum tahu betapa dunia bisa rumit, dan mungkin memang belum perlu tahu. Yang mereka tahu hanya pagi adalah waktu untuk tertawa, untuk berlari mengejar bayangan, untuk menyusun dunia dari kerikil dan kayu kecil yang jatuh dari pohon. Mereka menciptakan permainan tanpa aturan, dan itulah keindahannya.
Aku berdiri di ambang pintu, memperhatikannya. Nana, istriku, bersandar di kusen dengan senyum yang menggantung di sudut bibirnya. Kami tak bicara, tapi hati kami tahu persis apa yang sedang dirasakan satu sama lain: rasa syukur. Iliana tumbuh dengan baik. Dengan bebas. Dengan bahagia. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Sore harinya, kami melangkah ke White House Coffee. Tempat itu tenang, bersih, dan terasa seperti ruang tamu yang diperluas. Lampu-lampunya hangat, tembok putihnya tinggi dan lembut dipandang. Tak ada hiruk pikuk. Hanya kami yang duduk bersama di satu meja panjang, menikmati jeda.
Aku duduk di tengah, di sampingku Nana yang menggendong Iliana di pangkuannya—si kecil itu sudah lelah, tapi masih enggan benar-benar tidur. Hasna duduk manis dengan kerudung hitamnya, penuh rasa ingin tahu pada tiap obrolan. Di sebelah Hasna, duduk Mbak Siti yang memeluk Hanum, dan di sisi paling kanan, Mas Herla, bapak dari Hanum—menyilangkan tangan sambil tersenyum kecil. Di jari tangannya, batu akik berkilat pelan, seperti benda tua yang menyimpan rahasia.
Kami menyantap hidangan ringan yang tersisa di piring. Bukan pesta, bukan perayaan. Hanya sore yang panjang, kopi yang hangat, dan obrolan yang tidak perlu diarahkan. Hasna mencomot sisa pasta, Iliana sesekali berlarian kecil. Hanum menggoda Hasna dengan wajah usilnya. Nana menyuapkan kentang pada Iliana. Dan aku? Aku diam. Mengamati. Merasakan. Menyimpan semuanya dalam hati yang penuh. Di saat seperti itu, tak perlu kata-kata besar untuk menyebutnya bahagia. Cukup hadir. Cukup bersama.
Malam mulai menetes di luar jendela. Tapi kami belum terburu-buru pulang. Ada semacam keengganan untuk membiarkan waktu beranjak terlalu cepat. Di tengah tawa kecil dan sisa gelas yang mulai kosong, aku melihat ke sekelilingku. Dan untuk sesaat, aku tahu pasti: Di sinilah rumah itu. Bukan pada tembok atau atap, tapi pada orang-orang yang duduk bersamaku sore ini.