Teruntuk Mia, Semua Lagu Cinta Terdengar Sama Saja

Aku duduk di depan piano, dengan sebuah buku terbuka di hadapanku. Bukan pemandangan yang luar biasa, tapi entah kenapa hari ini rasanya sakral. Mungkin karena aku kelelahan. Atau mungkin karena aku sedang tidak ingin menjadi siapa-siapa.

Di zaman ketika manusia saling berlomba menampilkan versi terbaik dari dirinya, aku justru merasa ingin menghilang. Bukan untuk lenyap, tapi untuk kembali menjadi manusia yang utuh—tanpa label, tanpa ambisi, tanpa filter. Mungkin gaya tulisanku hari ini berbeda dari kemarin. Tidak sistematis. Tidak efisien. Aku benar-benar kacau. Dan dalam kekacauan itu, aku menemukan kejujuran yang tidak bisa dijelaskan oleh algoritma.

Piano ini telah lama menemani hari-hariku, tapi hari ini ia terasa lebih seperti cermin daripada alat musik. Setiap tuts yang diam, seolah menantiku untuk jujur. Di atasnya, buku terbuka pada halaman yang berbicara tentang konsep waktu, tentang bagaimana manusia prasejarah memahami masa lalu bukan sebagai garis linier, tapi sebagai lingkaran yang terus berulang. Aku tidak tahu apakah aku sedang membaca buku, atau sedang membaca diriku sendiri yang terbuka di tengah waktu yang membingungkan.

Ada dua lagu yang muncul dalam pikiranku. Yang pertama adalah lagu Teruntuk Mia. Lagu itu muncul begitu saja—entah dari mana—dan sejak pertama kali kudengar, aku tahu lagu itu tidak akan pernah benar-benar pergi. Ia sederhana, bersih, dan hangat. Seperti mata seorang anak yang belum mengenal luka. Ia tidak memerlukan analisis atau pembacaan mendalam. Lagu itu hanya butuh didengar, dan sekali kamu mendengarnya, kamu tahu bahwa kamu sedang aman. Lagu itu adalah tempat pulang. Lagu yang sejak awal terasa seperti sudah lama kamu kenal.

Tapi lagu yang kedua… ah, lagu yang kedua jauh lebih rumit. Judulnya saja sudah meledek: Semua Lagu Cinta Terdengar Sama Saja. Lagu itu tidak manis, tidak langsung menggetarkan hati. Ia datar. Dingin, bahkan. Seperti seseorang yang tidak mau membuka dirinya terlalu cepat. Tapi aku penasaran. Aku putar sekali. Tidak menyentuh. Aku putar lagi. Masih belum. Tapi setelah mendengarnya berkali-kali, aku mulai mengerti. Lagu itu adalah tentang cinta yang tetap tinggal ketika segalanya sudah tidak indah lagi. Tentang cinta yang tidak butuh panggung. Cinta yang tahu kapan harus menunggu, kapan harus mundur, dan kapan harus bertahan.

Ironis, bukan? Lagu yang mudah didengar bukanlah lagu yang terus teringat. Dan lagu yang sulit dicintai justru menjadi lagu yang paling dalam menggurat.

Hari ini aku tidak menulis untuk dipahami. Aku menulis agar aku sendiri bisa bernapas. Di tengah gemuruh data, tuntutan, dan narasi yang terus berganti—aku tidak ingin mengalah, tapi aku juga tidak ingin menang. Aku hanya ingin diam. Hadir. Tidak dalam arti spiritual atau mistis, tapi dalam cara yang paling manusiawi: duduk tenang, membiarkan waktu lewat, mendengar napasku sendiri.

Sebagai Homo sapiens, kita adalah makhluk yang luar biasa kompleks. Kita membangun peradaban, menciptakan mitos, menguasai planet ini. Tapi hari ini, aku tidak merasa seperti puncak evolusi. Aku hanya merasa seperti manusia—makhluk yang lelah berpura-pura menguasai segalanya, dan diam-diam hanya ingin dimengerti.

Dan jika kesadaran ini hanyalah ilusi, biarlah. Biarlah ia menjadi ilusi yang damai. Sebab di antara lagu untuk Mia dan lagu yang baru kupahami setelah berkali-kali, di antara halaman-halaman buku yang bicara tentang waktu, dan tuts-tuts piano yang masih menunggu disentuh, aku akhirnya tahu: aku tidak sedang mencari jawaban. Aku sedang belajar untuk duduk bersama pertanyaanku sendiri, dan membiarkannya bernyanyi perlahan di dalam diam.