Aku datang ketika tanah sudah diratakan. Tak ada lagi tubuh, tak ada lagi kain hijau, hanya sisa bunga dan bau doa - doa yang menggantung lemah di udara. Bahkan angin pun seperti enggan bicara hari itu. Namanya Ibu Kasini. Ibu dari bibiku. Seseorang yang kupanggil nenek, bagian dari pohon yang menaungiku dari jauh.
Mereka bilang ia wafat subuh tadi. Jumat Kliwon. Ada sesuatu tentang waktu seperti itu yang membuat kematian terdengar lebih mistis, lebih sunyi dari biasanya. Dan meskipun aku tak datang saat jasadnya masih di rumah, aku merasa kehadiranku bukan sekadar datang. Ada sesuatu yang mendorongku ke sini—mungkin bukan kesedihan, tapi sebuah bentuk penghormatan yang sunyi kepada beliau, yang tak memerlukan kata-kata.
Di ruang tamu yang masih bau doa, aku duduk. Tikar di bawahku terasa hangat, seolah menyimpan sisa-sisa langkah mereka yang menangis pagi tadi. Di dinding tergantung foto-foto lama. Wajah-wajah dengan mata yang sama seperti bibiku, seperti ibuku, seperti aku jika kutatap cukup lama di cermin.
Seseorang menyapaku, “Sudah dikubur, barusan. Tadi jam sepuluh lewat.” Aku hanya mengangguk. Tak tahu harus menjawab apa. Waktu di tempat seperti ini bukan untuk menjelaskan, tapi untuk menerima. Seperti menerima hujan yang jatuh di luar jendela, atau lagu lama yang tiba-tiba terputar di radio.
Aku sempat berdiri di samping rumah, memandangi langit yang mendungnya setengah-setengah. Seperti hatiku. Mungkin begini rasanya menyentuh tepi kehilangan yang menyakitkan, terasa.
Sebelum pulang, aku sempat berdiri di kamar kecil yang katanya dulu tempat beliau sering duduk sore-sore. Ada cangkir teh yang tinggal separuh, ada bantal kecil di sudut kursi. Seakan waktu di ruangan itu memutuskan untuk berhenti. Dan ketika aku keluar, daun kering jatuh satu di pundakku.