Pagi ini, saat langit masih tampak seperti lembaran kertas kusam yang belum ditulisi, aku duduk di meja putih bersih di kantor, diapit oleh laptop tua merek Acer dan tablet yang sedikit lebih ramping dan futuristik. Lampu-lampu di langit-langit menyala seperti bintang buatan yang terlalu terang, tak memberikan kehangatan, hanya keberadaan.
Hari ini aku punya dua Zoom meeting—dua dunia yang terpisah tapi bertemu di ruang digital yang sama. Pagi tadi, aku tenggelam dalam webinar Coretax UMS. Suara pembicara mengalun datar seperti hujan tipis yang turun di kota kecil yang sudah lupa bagaimana rasanya musim panas. Mereka bicara tentang pajak, ilustrasi perhitungan, dan skema yang rumit seperti mimpi yang tak pernah benar-benar selesai dijelaskan. Tapi anehnya, ada kenyamanan di dalam kekakuan angka-angka itu. Seperti menyusun puzzle dari kepingan masa lalu yang tidak terlalu ingin diingat, tapi tetap harus ditata.
Sore harinya, giliran kelas pajak untuk profesi dokter. Suasana dalam Zoom tidak jauh berbeda, hanya wajah-wajah yang berubah. Kebanyakan dari mereka memakai jas putih atau duduk di ruangan yang dindingnya dipenuhi sertifikat dan rak buku. Tapi semuanya tampak lelah. Mungkin bukan karena pajak, tapi karena dunia mereka yang terus menuntut kesempurnaan bahkan ketika realitas hanya mampu memberikan ketidakseimbangan.
Aku mendengarkan, mencatat, memandangi dua layar di depanku seolah mereka bisa memberiku jawaban atas pertanyaan yang tak pernah kuajukan. Sesekali aku menyeruput kopi yang sudah dingin, yang rasanya seperti kenangan akan pagi hari yang selalu terlewat terlalu cepat.
Ketika hendak pulang, Badra sempat mengajakku bermain badminton. Tawaran yang sederhana, tapi mengandung godaan yang tidak kecil. Aku sempat ingin ikut—barangkali untuk melonggarkan tubuh atau hanya mencari suara pukulan kok sebagai pengganti kebisingan pikiran. Tapi entah kenapa, aku akhirnya menolak. Bukan karena lelah, mungkin lebih karena ada sesuatu di dalam diriku yang lebih nyaman dalam sepi dan rutinitas.
Di parkiran, ketika aku hendak melangkah menuju motorku, aku bertemu Ariza. Ia tenang, seperti seseorang yang sengaja memperpanjang sore hari. Aku menyapanya, “Baru pulang?” Dia menjawab, “Enggak, aku emang biasa sekalian nunggu waktu Maghrib. Sholat dulu, baru pulang.”
Lalu ia tersenyum dan berkata lagi, “Kalau kamu emang karena baru selesai kerja kan?”
Aku mengangguk, tapi dalam hati aku merasa ada sesuatu dari jawabannya yang menempel lebih dalam dari yang seharusnya. Ada ketenangan dalam cara dia memilih untuk diam sejenak, menunggu, bukan karena tak ada yang dikerjakan, tapi karena tahu ada hal yang lebih penting dari sekadar pulang: bersandar sebentar dalam waktu yang tak dikejar-kejar.
Dan di situ aku mengerti, kadang hidup bukan soal menyelesaikan semuanya secepat mungkin, tapi soal memberi ruang bagi yang tak terlihat—kesabaran, niat, dan sepotong waktu untuk berdialog dengan sunyi.