Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, kebijakan Ethical Policy Belanda mulai membuka jalur pendidikan bagi pribumi. Pendirian sekolah kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) pada tahun 1902 adalah salah satu hasilnya. Sekolah ini membebaskan biaya kuliah bagi mahasiswa terpilih sebagai upaya mengatasi wabah penyakit dan kekurangan dokter di Hindia Belanda. Di sinilah tumbuhnya semangat kebangsaan kaum terpelajar pribumi. Pada tahun 1907, dokter Wahidin Soedirohoesodo (keturunan priyayi) berkali-kali mengunjungi STOVIA untuk mengampanyekan studiefonds – yayasan beasiswa bagi pelajar pribumi berprestasi yang kurang mampu. Gagasan Wahidin tersebut disambut hangat oleh mahasiswa STOVIA, terutama Raden Soetomo (kelak Dr. Soetomo) dan rekan-rekannya. Sebagai tindak lanjut, pada 20 Mei 1908 di ruang kelas STOVIA di Batavia (Jakarta), Soetomo bersama delapan rekannya mendirikan perkumpulan baru yang diberi nama Budi Utomo (Boedi Oetomo). Tokoh pendiri utama selain Soetomo adalah Goenawan Mangoenkoesoemo, Soeradji Tirtonegoro, Gondo Soewarno, M. Soelaiman, R. Angka, M. Soewarno, M. Saleh, dan RM Goembrek. Peran Wahidin sebagai inspirator sangat besar, sehingga pembentukan studiefonds dan kelahiran Budi Utomo pada 1908 dianggap saling berkaitan.
Sejak Kongres Pertama pada Oktober 1908 di Yogyakarta, para pendiri merumuskan tujuan organisasi yang bersifat sosial-budaya dan pendidikan. Kongres tersebut menyatakan tujuan “menjamin kehidupan sebagai bangsa yang terhormat” dengan fokus kemajuan bangsa melalui bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan. Secara ringkas, Budi Utomo bertujuan meraih “kemajuan Hindia” dan meningkatkan derajat bangsa Indonesia. Dalam praktiknya, organisasi ini bergerak untuk memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik, industri, dan menghidupkan kembali kebudayaan daerah. Salah satu mottonya adalah “tumbuhnya pohon beringin”, melambangkan perjuangan lambat namun kokoh. Prinsip tersebut tercermin dalam semboyan “Biar lambat asal selamat” yang dipegang organisasi. Dalam Anggaran Dasar (AD/ART) awal, Budi Utomo mendirikan program pengajaran, pemberian beasiswa, pendirian sekolah dan kursus, serta penghijauan budaya lokal agar “Indonesia tidak kehilangan identitas”.
Setelah kelahiran 20 Mei 1908, Budi Utomo berkembang pesat. Kongres Pertama (3–5 Oktober 1908) di Yogyakarta dihadiri oleh ratusan perwakilan pelajar, pejabat priyayi, tokoh masyarakat Jawa, serta beberapa delegasi Belanda dan Tionghoa. Dalam kongres itu ditetapkan tata kepengurusan dan kantor pusat organisasi di Yogyakarta. Pimpinan pusat dialihkan kepada RT A. Tirto Kusumo (ketua) dan dr. Wahidin Sudirohoesodo (wakil ketua). Para pendiri muda dari STOVIA – termasuk Soetomo sendiri – menerima keputusan ini karena merasa masih perlu menuntaskan pendidikan mereka.
Dalam beberapa bulan berikutnya, Budi Utomo membuka cabang-cabang di berbagai kota. Pada akhir 1908 tercatat tujuh cabang di Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Pada 1909 jumlah anggota sudah mencapai sekitar 10.000 orang. Untuk menyebarkan gagasan dan tujuan, para pengurus aktif mempropagandakan visi organisasi kepada pelajar, pegawai negeri, priyayi, dan masyarakat umum. Melalui tulisan di surat kabar serta pidato di forum-forum lokal, isu kemajuan pendidikan dan kebangsaan Indonesia mulai dikenal luas. Hasilnya, cabang-cabang baru tumbuh di kota-kota lain seperti Yogyakarta, Magelang, dan Probolinggo dalam waktu singkat.
Kegiatan Budi Utomo sendiri menitikberatkan pada bidang sosial dan kebudayaan. Organisasi ini mendirikan sekolah-sekolah, perpustakaan rakyat, serta memberikan beasiswa kepada pelajar miskin sesuai cita-cita Studiefonds awal. Mereka juga menggiatkan pertemuan kebudayaan Jawa dan membina organisasi pelajar. Guna mencapai tujuan, Budi Utomo secara terbuka memajukan pengajaran dan pendidikan masyarakat. Selain itu, mereka mendorong peningkatan produksi pertanian, peternakan, perdagangan, serta teknik dan industri rakyat (kerajinan). Budi Utomo secara khusus menjadikan pelestarian budaya daerah sebagai tugas penting agar bangsa “tidak kehilangan identitas”. Karena banyak pengurusnya adalah pegawai pemerintah, organisasi ini berjalan hati-hati dan tetap berkoordinasi dengan pihak kolonial. Prinsip pelan namun pasti sangat dijunjung: “Biar lambat asal selamat daripada hidup sebentar mati tanpa bekas”. Pendekatan moderat inilah yang kemudian membuat sebagian anggota berhaluan muda meninggalkan organisasi ini demi gerakan yang lebih radikal.
Meskipun Budi Utomo bersifat non-politik di era awalnya, peran historisnya sangat besar dalam menumbuhkan kesadaran nasionalisme Indonesia. Organisasi ini kerap disebut tonggak Kebangkitan Nasional: “Budi Utomo yang didirikan para pelajar STOVIA dianggap sebagai tonggak kebangkitan pergerakan nasional”. Semangat kemajuan yang mereka usung merupakan ide progresif pada zamannya. Budi Utomo menanamkan gagasan bahwa bangsa Hindia (seluruh pribumi di Hindia Belanda) memiliki martabat setara dan berhak kemajuan. Sebagai bukti pengaruhnya, tanggal berdirinya 20 Mei 1908 kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dengan kata lain, pendirian Budi Utomo dianggap sebagai “awal gerakan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia”. Melalui jaringan sekolah STOVIA dan kegiatan sosial-budaya, Budi Utomo membangun kesadaran akan identitas bersama; misalnya mereka menggunakan semboyan “Hindia Maju (IndiĆ« Vooruit)”, bukan hanya Jawa Maju. Dengan demikian, walaupun organisasi ini awalnya beranggotakan kaum terpelajar Jawa-Madura, idealisme buatan mereka berkontribusi pada terbentuknya konsep kebangsaan Hindia yang lebih luas.
Keberadaan Budi Utomo menjadi pemicu bagi lahirnya organisasi-organisasi pergerakan lain yang lebih politis. Tokoh-tokoh muda yang tak puas dengan langkah BU yang moderat – misalnya dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat – kemudian keluar dan mendirikan organisasi yang lebih militan (Perserikatan Dagang Islam, kelak Sarekat Islam, serta Indische Partij). Sekalipun Budi Utomo tidak langsung berkiprah dalam politik radikal, nilai kebangsaan dan gagasan persatuan yang dikembangkannya mengilhami generasi muda berikutnya. Pada Kongres 1932 Budi Utomo bahkan mengubah tujuan organisasinya menjadi “mencapai Indonesia merdeka” dan selanjutnya pada akhir 1935 melebur dengan Persatuan Bangsa Indonesia membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra).
Di sisi lain, semangat dan narasi Budi Utomo turut menanamkan identitas nasional. Budi Utomo mengajarkan bahwa pribumi Hindia memiliki akar budaya yang berharga dan nasib bersama. Prinsip mereka yang fokus pada “keluhuran budi” (baik budi pekerti maupun intelektualitas) menjadi dasar moral bagi kebangkitan nasional. Hari Kebangkitan Nasional yang dirayakan pada 20 Mei setiap tahun menegaskan bahwa momen Budi Utomo setara pentingnya dengan peristiwa Sumpah Pemuda (1928) dalam mengokohkan satu bangsa dan satu tanah air Indonesia. Dengan kata lain, Budi Utomo adalah salah satu jalan awal terbentuknya kesadaran berbangsa Indonesia yang utuh.
Seiring waktu, peranan Budi Utomo mulai menurun akibat sejumlah faktor. Pertama, organisasi ini mempertahankan orientasi sosial-budaya yang lamban dan akomodatif terhadap pemerintah kolonial sehingga kehilangan daya tarik di kalangan pemuda yang semakin radikal. Banyak anggota keluar untuk mencari jalur perjuangan yang langsung menentang kolonialisme, sementara Budi Utomo tetap berhati-hati demi menghindari pembubaran paksa. Kedua, kemunculan organisasi pergerakan baru – baik yang bercorak agama maupun nasionalis – mengurangi kekuasaan monopoli Budi Utomo. Pemerintah kolonial sendiri bersikap ambigu: pada awalnya Belanda memandang Budi Utomo sebagai buah dari politik etis mereka, tetapi lama-kelamaan justru curiga pada potensi gerakan nasionalis progresif dalam BU. Tekanan politik Belanda dan keterbatasan internal organisasi membuat pengaruh Budi Utomo di masyarakat semakin berkurang.
Akhirnya, dalam Kongres Budi Utomo di Solo tanggal 24–26 Desember 1935, diputuskan agar Budi Utomo melebur dengan organisasi Persatuan Bangsa Indonesia menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Dengan bergabungnya sebagian kader Budi Utomo ke dalam Parindra pimpinan Soetomo, maka berakhirlah eksistensi Budi Utomo sebagai organisasi mandiri. Keputusan ini sekaligus menandai akhir era awal pergerakan nasional; Budi Utomo telah “bertahan cukup lama” di bidang sosial-budaya, namun gelombang perjuangan kemerdekaan yang lebih luas menuntut perubahan strategi.
Boedi Oetomo (Budi Utomo) merupakan tonggak penting dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Sebagai organisasi pemuda pertama yang terorganisir pada skala modern, pendiriannya pada 20 Mei 1908 menandai tumbuhnya semangat kebangsaan Indonesia di kalangan terpelajar. Meskipun fokus awalnya terbatas pada kemajuan pendidikan dan kebudayaan Jawa–Madura, Budi Utomo menanamkan gagasan bahwa pribumi Hindia berharga dan mempunyai hak untuk maju. Semangat inilah yang kemudian menginspirasi organisasi-organisasi pergerakan berikutnya, menuju terbentuknya identitas nasional Indonesia. Pergantian orientasi organisasi ini ke arah politik pada 1930-an dan akhirnya fusi ke Partai Indonesia Raya menunjukkan dinamika perjuangan sepanjang masa kolonial. Dengan dasar itulah tanggal lahirnya Budi Utomo kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, memperingati awal kebangkitan rakyat Indonesia untuk menuntut kemerdekaan.
Referensi:
1. Kompas.com. (2023, Mei 19). Sejarah Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908: Latar belakang dan tokoh. https://www.kompas.com/tren/read/2023/05/19/130000965/sejarah-hari-kebangkitan-nasional-20-mei-1908-latar-belakang-dan-tokoh
2. Detik.com. (2025, Mei 20). 20 Mei 2025 Memperingati Hari Apa? Ada Harkitnas dan Peringatan Lainnya. https://news.detik.com/berita/d-7921201/20-mei-2025-memperingati-hari-apa-ada-harkitnas-dan-peringatan-lainnya
3. Kumparan.com. (2023). Mengapa Tanggal 20 Mei Diperingati Sebagai Hari Kebangkitan Nasional? https://kumparan.com/ragam-info/mengapa-tanggal-20-mei-diperingati-sebagai-hari-kebangkitan-nasional-256II81PwMs