Siang kemarin, saat matahari menggantung malas di atas langit Slamet Riyadi yang tua dan penuh kenangan, aku berjalan melintasi jalan itu seperti arwah yang terperangkap dalam putaran waktu, mendengar gema roda becak yang telah lama sirna, dan aroma kenanga yang pernah ditanam nenek-nenek tua dari zaman kolonial masih menguar dari balik trotoar yang retak. Angin membawa bisik-bisik dari masa lalu—tentang pedagang kain yang bersumpah tak akan mati sebelum dagangannya laku, tentang perwira tua yang tiap pagi menyapa pohon flamboyan seolah itu istrinya yang lama pergi. Mobil-mobil melaju seperti tidak tahu bahwa jalan ini pernah saksi cinta yang begitu besar, hingga bayangannya masih menempel di bayang-bayang pepohonan yang menaungi aspal. Dan aku, hanya lewat, tapi pulang membawa beban cerita yang bukan milikku, namun entah kenapa terasa akrab di dada.
Aku makan dan minum di sebuah warung sederhana di Jalan Prof. Dr. Supomo, tak jauh dari Sriwedari—warung yang tampaknya dibangun dari kenangan dan waktu yang beku. Di sana, nasi hangat berteman iga goreng legam dan remah-remah kulit ayam yang renyah, disajikan di atas daun pisang yang harum seperti tanah basah setelah hujan pertama bulan November. Aku duduk di bangku kayu tua yang seolah masih menyimpan jejak duduk para petani, pedagang, dan mahasiswa yang pernah singgah dengan gelisah dan lapar. Cangkir enamel bermotif totol hijau itu, yang menyimpan teh manis panas, terasa seperti peninggalan masa revolusi—teh yang aromanya menghidupkan cerita kakek yang dulu pernah menyeruputnya sambil bercerita tentang cinta pertamanya. Di warung itu, aku tidak hanya mengisi perut, tapi juga mengisi rongga-rongga jiwa yang selama ini kosong oleh kesibukan yang tak pernah tahu arah pulang.
Setelah makan siang yang membangkitkan memori dan menyusupkan kehangatan ke dalam dada, aku melanjutkan pekerjaanku di ruang rapat berpendingin udara yang terasa terlalu rapi untuk pikiran yang baru saja mengembara jauh. Aku yang berjaket cokelat itu, duduk di pojok ruangan, mengamati dari kejauhan angka-angka pajak yang diproyeksikan di layar—angka-angka yang kaku dan dingin, namun menyimpan jejak kehidupan para pekerja dan cerita yang tak tercatat dalam laporan. Di sekitarku, rekan-rekan sibuk dengan perannya masing-masing: suara-suara pelan, klik mouse, denting mikrofon, semuanya seperti orkestra sunyi yang mengiringi tugas kami sore itu. Tapi aku, sesekali masih mencicipi sisa rasa teh manis dari warung tadi, seolah menolak sepenuhnya kembali ke dunia yang terlalu logis, terlalu terukur. Dalam hati, aku tahu, dunia ini berjalan dengan pajak dan hitungan, tapi hidup—hidup tetap milik warung kecil di sudut Sriwedari.
Malam itu, ketika lampu-lampu berpendar seperti lentera kenangan di balik kaca berembun, aku duduk bersama Nana dan Iliana di sudut kecil restoran Vietnam yang penuh gema bahasa asing dan harum kayu manis, merasa seolah waktu tak berjalan lurus melainkan melingkar seperti asap sup yang mengepul dari mangkuk phở giò bò di depanku—aroma daging rebus dan rempah-rempah membangkitkan bayangan masa kecil yang tidak pernah kumiliki tapi kurasakan seakan pernah. Iliana, dengan rambutnya yang halus dan tawa mungilnya, memecah keheningan meja dengan riuh gembira saat menggigit khoai lang chiên seolah itu adalah harta karun yang baru saja ia temukan di bawah bantal tidur siangnya. Di dinding Little Hanoi Vietnamese Cuisine, tergantung delapan potong kisah yang membuatku diam lama—perempuan-perempuan desa dengan tangan cekatan dan hati sebesar langit, mereka menanam, memanen, menenun, dan tersenyum seolah hidup tak pernah berat; aku berdiri di hadapan mereka seperti murid yang belajar bahwa keteguhan tak butuh panggung, cukup ladang, cinta, dan secangkir harapan yang diseduh setiap malam.