Cerita yang Diseruput Pelan-Pelan di Kauman


Siang itu, mentari menyala seperti petasan cap harimau yang meledak tanpa aba-aba, jatuh dari langit dan menggelinding di atas ubun-ubun kami. Panasnya seperti dendam lama yang belum selesai—menjewer pipi, menampar tengkuk, dan membakar bayangan kami sendiri di aspal Manahan. Tapi, aku, Iqlima, dan Ari Hatanti terus melangkah, seperti tiga serdadu tua yang sedang menunaikan misi rahasia: mencari sesuap nostalgia dan sejumput keteduhan.

Kami tiba di tempat yang entah rumah makan, entah museum kenangan. Bangunannya seperti hasil perjodohan antara galeri seni rakyat dan dapur nenek buyut yang tidak pernah kenal gas elpiji. Atapnya bukan genteng, bukan seng, tapi payung-payung warna-warni yang bergelantungan terbalik seperti sedang mengadakan musyawarah langit: merah seperti semangat pemuda, kuning seperti rindu masa kecil, hijau seperti cita-cita yang belum sempat tumbuh.

Dindingnya dari bata merah dan kayu tua, yang kalau disentuh, bisa jadi menangis karena terlalu banyak menyimpan cerita. Di depan, berdiri papan kayu bertulisan antik: “Djoeal Makanan & Minuman Tradisionil Djawa.” Tulisan itu seperti kutipan dari buku sejarah bapakku yang sudah hilang entah ke mana.

Aku tersenyum. Rasanya seperti menemukan kembali halaman favorit dari novel masa kecil yang dulu tak sengaja terlipat. Di sampingnya, berdiri sebuah kedai kopi modern: “Your go-to spot for coffee to-go – Arabica Coffee.” Dua zaman berdampingan, seperti dua sepupu yang dulu sering bertengkar karena rebutan warisan, kini saling menyeduhkan teh sore.

Begitu masuk, waktu seperti sedang menarik napas panjang. Dinding anyaman bambu, meja kayu gelap yang bisa bercerita tentang konspirasi diplomatik tahun 1948, mesin tik tua yang seakan masih bisa mengetikkan puisi patah hati. Di sudut, sepeda onthel berdiri seperti veteran perang yang sudah pensiun, dan sebuah papan “Dilarang Masuk” yang mungkin dibuat agar sejarah bisa tidur siang tanpa diganggu.

Kami duduk di kursi kayu, atau rotan, aku lupa, yang jika bisa bicara, mungkin akan menyuruh kami duduk lebih sopan. Menu minuman datang, bukan lewat tablet atau layar sentuh, tapi secarik kertas dengan tulisan tangan yang lebih romantis daripada surat cinta pertama. Ada “Bandrek Kayu Manis,” “Kopi Rempah,” dan “Teh Kantil” — minuman yang namanya seperti hasil perkawinan antara mantra dan dongeng.

Aku memesan nasi putih dengan sayur lodeh — labu, kacang panjang, jagung muda, dan cabai rawit utuh. Cabai itu seperti pengingat: bahwa yang kecil bisa membuatmu meneteskan air mata tanpa permisi. Di sisi piring, dua tusuk sate telur puyuh yang berlumur bumbu seperti kenangan manis yang lengket — sulit dilupakan.

Minumanku datang: secangkir cokelat panas dengan jahe dan rempah yang wanginya seperti pelukan nenek di pagi Lebaran. Disajikan dalam cangkir enamel bergaris kuning, yang kalau disentuh, akan berdenting seperti harapan yang belum selesai ditulis. Di seberang, Iqlima dan Ari menyeruput es tehnya dengan wajah lega — seperti dua orang siswi yang baru lolos dari ujian Matematika dan tidak ingin membicarakannya lagi.

Kami tidak makan dalam diam. Tapi bukan berisik yang mengusik. Ini adalah obrolan yang tahu diri. Diskusi satu dua kalimat, yang mengerti bahwa kadang-kadang, suasana lebih pandai bercerita daripada manusia.

Ini bukan sekadar makan siang. Ini semacam pelarian kecil, semacam pemberontakan sunyi — terhadap waktu, terhadap dunia yang terlalu cepat, terhadap hidup yang ingin menyulap segalanya jadi tabel dan grafik, dan orang – orang menyebalkan di loket antrian kantor kata Ari. Di Kauman, siang itu, kami duduk di tengah cerita. Dan barangkali, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hidup rasanya seperti novel yang tidak ingin lekas selesai.

Dan di tengah semuanya itu—di antara aroma sayur lodeh, dengung kipas tua, dan denting sendok di atas piring seng—aku belajar satu hal sederhana yang tak diajarkan di bangku sekolah: bahwa hidup tidak harus selalu mengejar yang baru, karena kadang yang paling kita rindukan justru hal-hal yang sudah lama berlalu, orang menyebutnya sejarah. Bahwa mungkin, untuk benar-benar merasa utuh, manusia hanya perlu diingatkan—oleh semangkuk makanan warisan, oleh kursi rotan reyot, atau oleh secangkir cokelat panas—bahwa waktu bukan musuh, tapi teman lama yang sedang bercerita pelan-pelan.