Siang itu langit tidak benar-benar cerah, tapi juga tidak bisa dikatakan mendung. Seperti perasaan yang menggantung tanpa kejelasan arah. Aku mengendarai mobilku tanpa tujuan pasti, hanya mengikuti desir samar yang muncul di dalam dada. Di luar, kota seperti biasa—sedikit berisik, sedikit kacau, tapi tetap setia berputar di porosnya. Lalu entah kenapa, roda kendaraanku membawaku ke Harso Coffee.
Kedai itu sederhana, temboknya belum selesai dicat, seakan menolak untuk benar-benar menjadi sesuatu. Di dinding belakang, tergantung lukisan besar: wajah abstrak yang seperti sedang memeluk mimpi buruk dan mimpi indah secara bersamaan. Beberapa orang berdiri di dekat mesin espresso, berbincang dalam suara rendah. Bau kopi menggantung di udara, hangat dan samar manis, seperti kenangan yang sudah terlalu lama tersimpan dalam kotak sepatu.
Aku memesan dua minuman: Exotic dan Kalashnikov. Namanya seperti dua sisi dari satu perang batin—yang satu terdengar seperti janji manis dari negeri asing, satunya lagi seperti peluru dingin dalam senja revolusi.
Barista menyerahkan dua cup plastik dengan logo “HARSO COFFEE 8668 RESPECT.” Aku membawa minuman itu ke mobil, duduk diam, dan memandangi jalanan melalui kaca depan yang mulai berembun. Di tangan kiriku, Exotic: espresso, susu, dan gula aren—rasanya seperti nostalgia yang pernah manis tapi kini hanya menggelitik lidah. Di tangan kanan Nana, Kalashnikov: lebih kompleks, seperti Exotic yang tumbuh dan menyimpan dendam. Rasanya membawaku ke gang kecil di Tokyo, pada musim hujan yang tidak pernah benar-benar selesai.
Kupikir, mungkin kita semua seperti dua minuman itu. Manusia-manusia yang hidup di antara kenangan dan kehendak untuk melupakan. Di antara manis yang dibuat-buat dan pahit yang tidak diundang. Dan di tengah semua itu, Harso Coffee berdiri seperti sebuah ruang tunggu yang tidak pernah bertanya mengapa kau datang. Aku menyesap Exotic sekali lagi. Dunia tetap berputar, dan aku tetap di sini. Tidak lebih dekat pada jawaban apa pun, tapi setidaknya hari ini aku memilih duduk dan menunggu—sebuah keputusan yang kadang jauh lebih penting daripada yang terlihat.
Dan dari siang yang biasa ini, aku belajar bahwa hidup tidak selalu butuh alasan besar untuk berhenti sejenak. Kadang, cukup dengan dua cangkir kopi dan kursi mobil yang diam, kita bisa mendengar suara-suara kecil dari dalam diri yang selama ini tenggelam oleh rutinitas. Bahwa tidak semua perjalanan harus memiliki tujuan yang jelas—karena dalam keraguan pun, kita tetap bisa menemukan rasa. Dan barangkali, itulah yang disebut hidup: menyesap waktu perlahan, membiarkan pahit dan manis menyatu tanpa perlu selalu meminta dipahami, tanpa perlu peduli orang marah atau bersikap sepahit apapun kepada kita, yang penting bukan kita yang bersikap buruk ke orang lain.