Di Antara Jeruk, Pisang, dan Tawa yang Renyah


Siang ini, Solo tak lagi ramah. Panasnya seperti bara, menggigit kulit dan mengaduk keringat tanpa ampun. Udara begitu kering hingga aspal pun tampak beruap. Tapi anehnya, kami justru memilih menantang panas itu menuju Pasar Gede—pasar tua yang masih menyimpan denyut kota dengan irama pelan tapi pasti.

Ulung dan Pak Timon segera tenggelam dalam dunia mereka: biji kopi yang digiling perlahan, aroma khas yang menyeruak dari setiap putaran mesin tua, seperti doa yang diucap dalam bahasa wangi. Sementara itu, Bu Ning, Mbak Nita, dan Iqlima berjalan di lorong-lorong penuh warna. Mereka memilih jeruk yang kulitnya mengilap seperti lilin pagi dan pisang yang tergantung manis, menguning cerah seperti bulan yang turun ke pasar.


Setelah semua kantong terisi dan mata puas dengan pemandangan tropis, kami melangkah ke Obonk Steak & Ribs. Ruangannya sejuk, lampu-lampu gantung menyinari meja kayu dengan kehangatan, seperti menyambut kami yang datang dari dunia penuh terik.


Aku memesan kopi, sama seperti Bu Ning. Disajikan dalam cangkir putih porselen, permukaan kopiku dihiasi latte art berbentuk daun—lembut dan halus, seolah barista melukisnya dengan hati-hati. Aromanya pekat, menenangkan, menyatu dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Saat aku seruput pertama, pahitnya menyentuh lidah seperti kalimat jujur yang lama ditahan, lalu perlahan meleleh bersama rasa susu yang lembut—hangat, akrab, dan membuat tenang.


Untuk makanan, aku mengikuti Iqlima—mixed chicken beef crispy. Hidangan itu datang di atas hotplate besi hitam yang masih mendesis, asap tipis mengepul seperti kabut di atas danau pagi. Di atasnya, potongan ayam goreng dan daging sapi tersaji dalam lapisan tepung yang keemasan, renyah, dan menggoda. Saus kental berwarna cokelat keemasan mengalir di bawahnya, penuh dengan potongan jagung, wortel, dan buncis yang masih renyah. Setiap suapan adalah perpaduan antara kerenyahan, kelezatan daging, dan hangatnya saus yang membungkus semua rasa dalam satu gigitan utuh.


Kami makan sambil tertawa, berbagi cerita, dan sesekali terdiam menikmati kelezatan masing-masing. Dalam panas yang menyengat, dalam lelah yang mengendap, ternyata bahagia bisa hadir dalam hal-hal sederhana: secangkir kopi hangat, sepotong ayam crispy, dan teman-teman yang duduk satu meja. Karena hidup, sejatinya, adalah tentang merayakan kebersamaan di tengah kesibukan dunia yang terus berlari. Lagi pula, kami bukan mesin assembly line.