Dari ujung jarum itu, menjulur plastik bening, tipis, tapi kokoh seperti niat ibu memasak saat anak-anaknya sakit. Plastik itu menyambung ke kantong cairan bening yang menggantung manis, seperti buah rambutan muda yang belum sempat dipetik. Cairan itu… ah, cairan ajaib! Tak berwarna, tapi membawa nama-nama kimia yang dulu kutemui di halaman belakang buku pelajaran SMA: Sodium Chloride, Potassium Chloride, Calcium Chloride Dihydrate, dan Sodium Lactate. Nama-nama yang rumitnya melebihi nama ilmiah hewan di kebun binatang.
Itu adalah rindu yang diencerkan, harapan yang dilarutkan, dan doa-doa dari banyak sekali chat masuk dari teman - temanku yang menetes perlahan ke dalam pembuluh darahku yang ku sempat - sempatkan untuk segera ku balas. Kenapa sempat - sempatnya mengetik? Hei, yang sakit perutku, atau lambung, atau usus, tanganku sehat betul dan otakku baik - baik saja bahkan ia bergembira ria ketika aku menulis.
Aneh rasanya. Dulu kupikir tubuhku tangguh, seperti batang pohon mangga di halaman rumah. Tapi sekarang, tubuhku harus distabilkan oleh air dari pabrik di Lawang. Pabrik! Tempat yang bahkan belum tentu pernah kukunjungi, tapi kini menjadi sumber kehidupanku. Cairan itu tidak menyembuhkan, katanya. Ia hanya menjaga. Menjaga agar aku bisa tetap duduk memandang langit-langit rumah sakit yang polos dan penuh cerita.
Aku menjadi makhluk yang hidup dengan alat bantu. Dipantau, disangga, dijaga. Bahkan napasku yang biasanya tak kupikirkan, kini terdengar berat dan nyata, seperti embusan angin dari kipas tua di masjid kampung. Setiap detak infus itu seperti sajak yang ditulis oleh dunia modern—pelan, pasti, dan menyimpan harapan yang tak bersuara.
Di zaman ini, tubuh bukan lagi milik kita sendiri. Ia adalah proyek bersama—antara aku, dokter, perawat, pabrik infus, dan bahkan alarm yang akan berbunyi jika aku terlalu nakal dan tekanan darahku naik. Tapi di antara semua itu, ada keheningan. Keheningan yang padat. Yang tak bisa dijelaskan, tapi bisa dirasakan, seperti rindu yang tak sempat diucapkan.
Mungkin begini cara kita bertahan sekarang. Bukan dengan kekuatan, tapi dengan cinta dalam bentuk lain—cinta dari mesin, dari ilmu pengetahuan, dari mereka yang meracik cairan ini dengan harapan yang diam-diam. Aku tak tahu apakah ini kemenangan atau penundaan, tapi setiap tetes yang masuk ke tubuhku adalah tanda: aku masih di sini. Masih hidup. Masih bertahan.
Dan di ujung selang bening itu, tergantung sesuatu yang tak kelihatan tapi nyata—harapan. Harapan yang tidak berteriak, tapi menetes pelan-pelan ke dalam diriku. Itu cukup. Untuk hari ini, itu cukup. Tapi sungguh, di balik semua ini, ada satu hal yang ingin kuakui pelan-pelan, seperti mengaku dosa pada sore kemarin—aku tidak ingin sakit. Aku tidak ingin terlihat sakit. Aku ingin tertawa tanpa rasa ngilu di antara tulang, berjalan tanpa selang menggantung, dan menatap dunia tanpa tatapan iba orang-orang. Karena di dalam tubuh yang lelah ini, ada jiwa yang masih ingin menari, masih ingin mencintai, dan masih ingin hidup sepenuh-penuhnya.