Lampu merah itu menyala seperti sebiji kelereng merah yang terjebak di antara langit yang muram dan kabel listrik yang bisu. Aku menghentikan motorku pelan, di belakang deretan kepala berhelm, seperti pasukan kecil yang sedang menunggu aba-aba dari Tuhan untuk melanjutkan perjalanan hidup.
Langit senja sudah menghitam, tapi tak sepenuhnya malam. Masih ada sisa warna biru tua yang melukis langit dengan kesepian yang tenang. Angin menyelinap lewat sela helm, membawa aroma aspal, debu, dan sedikit wangi dari pedagang gorengan entah di mana. Di tengah riuh lampu kota dan kilau reklame, pikiranku melayang, menjelma segerombolan kupu-kupu kenangan yang terbang ke kantor, tempat segala lelah dan pelajaran bermula.
Ibu Herlin, nama itu muncul tiba-tiba seperti puisi yang tak sengaja ditemukan di halaman belakang buku. Beliau adalah atasan kami, tapi lebih mirip guru ketimbang bos. Di matanya yang tenang, kami semua ini seperti anak-anak kecil yang selalu salah mengeja kata, tapi terus diberi pensil untuk menulis ulang.
Tak jarang kami membuat kesalahan. Mulai dari laporan yang meleset, presentasi yang lupa diatur, hingga data yang nyasar entah ke mana. Tapi Ibu Herlin tidak pernah benar-benar marah. Suaranya tetap tenang, bahkan ketika kami panik seperti ayam kehilangan induk. Ia mengoreksi, mengarahkan, dan memberi kami kesempatan untuk belajar. Untuk tumbuh. Dengan sabar yang tak masuk akal, ia percaya kami bisa menjadi lebih baik, meski kami sendiri kadang ragu. Kata-katanya tinggal dalam kepalaku lebih lama daripada kopi yang dingin di meja kerja.
Kembali ke perempatan itu, lampu merah masih menyala. Tapi aku tidak lagi tergesa-gesa. Aku memperhatikan sekeliling. Motor-motor lain, kehidupan lain, dan mungkin, kepala-kepala lain yang juga dipenuhi pikiran tentang bos, gaji, keluarga, dan impian yang menua. Aku beruntung. Di antara semua orang yang bisa jadi atasan, aku dapat Ibu Herlin.
Dan dari semua hal yang kupelajari hari ini, yang paling penting adalah ini: Seseorang yang sabar tak hanya membantu kita menyelesaikan pekerjaan, tapi juga membentuk kita menjadi manusia yang lebih utuh. Dalam hidup yang serba cepat dan penuh tuntutan, kehadiran seseorang yang sabar dan tulus membimbing kita adalah anugerah yang tak ternilai. Karena dari kesabaran itu, kita belajar bukan hanya cara bekerja, tapi cara menjadi manusia.