Hari Hujan dan Es Teh Terenak se - Sukoharjo


Hari ini aku bekerja seperti biasa. Tak ada yang terlalu istimewa. Tapi seperti kata orang bijak yang entah siapa, “Yang tak istimewa itulah yang justru akan kamu rindukan suatu saat nanti.” Maka aku bekerja dengan diam-diam berterima kasih kepada waktu.

Siang itu, aku berjalan bersama Ulung dan Iqlima. Kami menyusuri jalanan kecil menuju sebuah tempat makan yang namanya terdengar seperti teka-teki: Dadar Beredar. Nama yang menggelikan, seperti karangan anak-anak yang baru bisa menulis puisi. Aku memesan dadar tanpa pedas—karena dalam hidup yang sudah cukup hangat, aku tak perlu api lagi di lidahku.

Setelah makan, kami menuju empatteh_4inone, warung es teh paling jujur di Sukoharjo. Rasanya bukan hanya menyegarkan—ia menyelamatkan. Ada semacam kedamaian aneh yang merayap dalam dada saat sedotan pertama menyentuh bibirku. Rasanya seperti pulang ke rumah masa kecil yang sudah lama dijual orang.

Kami kembali ke kantor ketika langit mulai berubah warna. Awan hitam datang dari arah barat, menggumpal seperti perasaan yang tak diucapkan. Tepat jam tiga, langit membuka hujan selebat-lebatnya di atas Manahan. Air turun tak hanya ke bumi, tapi ke relung-relung diam yang ada di dalam diri. Suara adzan Ashar terdengar dari kejauhan, seperti pesan dari Tuhan yang disisipkan lewat suara manusia.

Lalu kabar itu datang. Di jalan Slamet Riyadi, banyak pohon tumbang. Aku terdiam. Membayangkan pohon-pohon itu—tinggi, kuat, dan sabar selama bertahun-tahun—akhirnya rebah juga. Barangkali karena akarnya sudah lelah menggenggam dunia.

Dan di tengah semua itu, di antara seruput terakhir es teh dan aroma tanah basah, aku sadar…

Bahwa hidup ini, seperti pohon-pohon itu, ada masanya berdiri, ada masanya roboh. Ada masanya kuat, dan ada masanya kita mesti merunduk karena tak sanggup lagi. Tapi tak mengapa. Bahkan pohon pun rebah dengan anggun.

Hikmahnya? Barangkali hidup bukan soal seberapa lama kita berdiri, tapi tentang bagaimana kita menjatuhkan diri dengan tenang, bila saatnya tiba. Karena pada akhirnya, yang dikenang bukan hanya tinggi pohonmu, tapi juga rindang daunnya—dan teduh yang pernah kau berikan.