Angin siang itu berhembus pelan seperti bisikan rahasia yang datang dari masa lalu. Aku berdiri di depan sebuah rumah tua yang dindingnya dipeluk erat oleh tanaman rambat, seolah-olah alam sendiri mencoba menghapus batas antara yang hidup dan yang mati, antara masa kini dan kenangan yang terlupakan. Di atas pintu kayu yang telah memudar warnanya, tergantung papan bertuliskan “Selamat Datang” dalam banyak sekali bahasa. Sebuah sapaan yang terasa lebih seperti mantra daripada sambutan biasa.
Aku tidak tahu persis kenapa aku ke sini. Mungkin karena mimpi aneh yang datang tiga malam berturut-turut: seorang wanita mengenakan kain batik berdiri di ujung gang sempit dan memanggil namaku, suaranya serak tapi merdu, seperti rekaman lama dari piringan hitam yang terus berputar di bawah jarum yang lelah.
“Kauman,” gumamku. Nama kampung ini terucap seperti password menuju sesuatu yang pernah penting. Mungkin aku pernah ke sini, atau hanya membacanya di sebuah buku yang aku temukan secara tidak sengaja di toko buku bekas, musim hujan yang lalu. Buku itu tidak punya judul di sampulnya. Hanya satu kalimat di halaman pertama: “Jalan-jalan sempit menyimpan cerita yang ingin dibagi.”
Di dalam rumah kecil itu, ada cermin yang memantulkan sosokku. Tapi aku tidak sedang bercermin. Aku sedang menatap seseorang yang sangat mirip denganku, tapi dengan sorot mata yang berbeda. Dia tampak seperti seseorang yang telah kehilangan sesuatu sangat penting, dan belum juga menemukannya.
Di sisi kiri bangunan, ada papan kayu bertuliskan “Batik Gunawan Setiawan – Kauman, Solo.” Aku tak mengenal nama itu, tapi entah mengapa, terasa akrab. Mungkin seperti ketika kau mendengar lagu lama di radio dan merasa kau tahu liriknya, padahal kau tak pernah benar-benar mendengarnya sebelumnya.
Aku berdiri di sana cukup lama, sampai suara motor tua lewat dan mengusik lamunan. Seperti bangun dari mimpi yang terlalu nyata. Tapi saat aku menoleh ke cermin lagi, sosok itu sudah tak ada. Hanya pantulan tanaman, dinding tua, dan aku sendiri yang kini merasa sedikit lebih asing dengan dunia.
Ada tempat-tempat yang tidak kita cari, tapi mereka menemukan kita. Mungkin Kauman adalah salah satunya. Atau mungkin ini hanya awal dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seperti batik: dari jauh tampak seperti pola biasa, tapi jika kau dekati, setiap garisnya menyimpan kisah yang sunyi tapi dalam. Dan aku, entah bagaimana, adalah bagian dari pola itu.
Dan di sanalah aku berdiri, tersenyum pada kamera seorang yang bersedia mengabadikan momen yang bahkan belum kupahami. Sebuah potret tentang tidak tahu ke mana harus melangkah, tapi tetap berjalan juga. Di tengah dedaunan, di bawah papan tua, di jantung kampung batik yang berbisik lewat warna-warna sunyi. Hari itu, aku tidak belajar apa pun. Tapi aku merasa sedikit lebih utuh. Dan kadang, itu lebih dari cukup.