Iliana dan Air Dingin yang Menjadi Hangat


Sore tadi, langit Kecamatan Teras seolah ingin mengucapkan sesuatu. Awan-awan kelabu bergelantung malu-malu, seperti anak-anak desa yang belum hafal lagu Indonesia Raya saat upacara. Tapi, siapa peduli pada cuaca jika kau memiliki dua hal paling ajaib di dunia: cinta dari istri, dan tawa dari anakmu?

Maka berangkatlah kami bertiga—aku, Nana istriku yang matanya menyimpan sabda ketenangan, dan Iliana, anak kami yang belum lama lahir tapi telah mengajari kami tentang kehidupan lebih dari siapa pun—menuju Panorama Waterpark, tempat di mana air tak sekadar basah, tapi juga bicara.

Airnya dingin. Dinginnya seperti petuah seorang nenek yang berkata, “Kalau hidupmu mulai rumit, rendamkan kakimu ke sungai. Biarkan semesta menyejukkanmu.” Maka kubenamkan kaki, dan benar saja, beban dunia meleleh seperti es lilin di tangan bocah SD.

Iliana yang pipinya seperti onde-onde hangat duduk di pangkuanku, rambutnya basah, wajahnya seperti lukisan yang belum selesai—selalu bisa berubah, tapi selalu indah. Ia tersenyum, lalu membentuk simbol dengan jemarinya. Tangannya mungil, tapi suaranya lebih keras dari genderang perang.

Nana tertawa di sampingku. Basah kuyup, tapi justru paling cantik di detik itulah. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi dari sorot matanya, aku tahu: ia sedang menyimpan potret sore ini di dalam ingatannya yang terdalam—seperti menanam kenangan ke dalam tanah rahasia di hatinya, agar bisa tumbuh dan mekar kapan pun kelak Iliana dewasa.

Kami bertiga duduk di atas batu besar yang licin. Di belakang kami, air terjun buatan mengalir deras, mengucapkan mantra-mantra yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang tulus bermain air, bukan sekadar berenang. Anak-anak berlari, sandal-sandal mengambang seperti kapal nelayan yang salah arah, dan langit… ah, langit sore itu membuka air hujan perlahan seperti seorang pemalu yang akhirnya berani bicara.

Suara tawa Iliana adalah simfoni yang bahkan Beethoven pun akan iri mendengarnya. Dan ketika waktu melambat, dan air mulai terasa lebih hangat dari biasanya, aku sadar: kebahagiaan tidak datang dari rencana besar. Ia datang dari satu tangan kecil yang menggenggam jari kita erat-erat, dan berkata tanpa kata: “Terima kasih telah membawaku ke dunia ini.”