Siang itu, langit membentang biru seperti papan tulis yang tak lagi dipakai, kosong tapi terasa akrab. Aku berdiri di bawah tiang listrik tua yang menjulang seperti penjaga tua kampung ini — tubuhnya kurus, rambutnya mencuat ke mana-mana, dan suaranya mendengung pelan, seperti sedang berbicara dengan angin. Dua batang beton itu berdiri berdampingan, seperti dua sahabat yang sudah terlalu lama mengenal satu sama lain tapi tak lagi bicara. Di atasnya, transformator gemuk menggantung seperti beban hidup yang tak bisa diturunkan, setia berdengung meski panas siang mengikis sabar.
Kabel-kabel hitam itu menggantung seperti urat nadi langit, saling menyilang, berbelit, tapi entah bagaimana, tetap mengalirkan hidup ke rumah-rumah, ke pikiran-pikiran, ke mimpi yang diam-diam masih menyala. Dulu aku mengira kabel-kabel itu cuma tali tempat burung bertengger, tapi sekarang aku tahu: mereka adalah garis-garis rahasia yang mengikat dunia diam-diam. Di belakang sana, gereja tua berdiri teduh. Warnanya putih, jendelanya bundar seperti mata anak kecil yang sedang mencari arti dunia. Atap merahnya miring sedikit ke kiri, seperti senyum seseorang yang tak sepenuhnya percaya bahwa harapan masih ada. Salib di puncaknya tajam menusuk langit — mengingatkanku bahwa bahkan dalam diam, ada sesuatu yang sedang berdoa.
Tepat di samping tiang itu, papan batas kecepatan bertuliskan “40” berdiri. Angka itu seolah bukan sekadar peringatan, tapi nasihat dari semesta: “Jangan keburu-buru, Nak. Dunia ini sedang berjalan pelan.” Tapi bagaimana bisa aku tak tergesa, kalau setiap langkah terasa seperti kejar-kejaran dengan bayangan sendiri? Aku berhenti di situ lebih lama dari seharusnya, membiarkan siang menyiram wajahku dan angin menyentuh rambutku. Entah mengapa, semuanya terasa seperti deja vu — seperti pernah terjadi dalam mimpi, atau mungkin masa kecil yang lupa kubawa pulang.
Dan di bawah tiang listrik tua itu, untuk sesaat, dunia terasa tidak tergesa. Kabel-kabel itu tetap berbelit, tiang itu tetap berdengung, dan langit tetap biru. Tapi hatiku — hatiku perlahan tenang, seperti air yang akhirnya menemukan tempatnya di mangkuk paling sederhana. Kadang, untuk merasa hidup, kita hanya perlu berhenti di tempat yang tak pernah kita anggap penting.