Jeda


Aku berhenti di lampu merah itu. Bukan karena rambu, tapi karena hidup seperti ikut menyalakan tanda berhenti di dalam dadaku sendiri. Langit di atas sana menggantung kelabu seperti selembar selimut tua yang lupa dicuci. Aku mendongak, berharap hujan, atau setidaknya tanda dari langit bahwa aku tak sedang berjalan sendirian di semesta yang terlalu ramai ini.

Deru motor, klakson bersahut-sahutan, dan suara penjual cilok di seberang jalan bercampur jadi satu nada yang ganjil. Bukan bising, bukan pula sunyi. Tapi semacam suara kehidupan yang menolak dijelaskan. Dan di tengah semua itu, aku diam. Bertahan seperti kursi plastik di warung kopi yang sudah patah satu kakinya—masih bisa dipakai, tapi rawan tumbang.

Aku memandang lurus ke depan. Ke jalanan panjang yang seolah menggoda: “Ayo, kalau kau tahu ke mana.” Tapi aku tidak tahu. Seperti orang yang naik sepeda tanpa sadel—sakit, tapi tetap saja jalan terus, karena malu kalau berhenti.

Tas di punggungku berat. Bukan karena buku atau pakaian. Tapi karena isi yang tidak bisa ditimbang: kekhawatiran, rindu, janji yang belum sempat ditepati, dan percakapan terakhir yang terus berputar di kepalaku. Seperti lagu yang rusak tapi tetap dinyanyikan, hanya karena itu satu-satunya yang tersisa.

“Kau tak perlu lama terjaga,” bisik sebuah suara dari dalam diriku. Bisa jadi itu hanya suara hati yang sedang lapar, atau lagu yang kudengar pagi tadi, entah dari mana. Tapi suara itu benar. Benar seperti hitungan satu tambah satu.

Mungkin memang hidup tak selalu butuh kecepatan. Kadang ia hanya perlu jeda. Seperti lampu merah ini. Memberi kesempatan kepada siapa pun untuk diam, sebelum kembali melanjutkan luka.

Pengendara di sampingku menoleh sebentar, lalu kembali menatap jalan. Kami tak saling kenal, tapi ada semacam bahasa diam yang tercipta. Bahasa dari mereka yang tahu rasanya membawa beban, tapi tetap pura-pura ringan.

Dan tiba-tiba, ingatanku datang lagi. Bersama dua kalimat yang seperti pelajaran kimia: rumit dan tak pernah kupahami sepenuhnya.

“Jangan memulai yang tak bisa kauakhiri.” “Jangan menginginkan yang tak bisa kaumiliki. Kalimat itu terasa seperti lampu lalu lintas juga: tegas, berpendar, dan tak bisa dibantah.

Lalu lagu itu muncul lagi. Lekaslah pulang, katanya. Bukan sebagai perintah, tapi sebagai bisikan dari jauh. Dan aku, yang selama ini menghindari arah pulang, mendadak ingin pulang. Bukan ke rumah. Tapi ke tempat paling sepi dalam diriku. Tempat di mana aku bisa memaafkan diriku sendiri.

Lampu hijau menyala. Mesin meraung. Kota berlari lagi. Tapi aku masih sempat menutup mata, dan dalam hening sepersekian detik itu, aku membuat janji kecil—dengan diriku sendiri, dengan langit, dengan kenanganku: Akan kujelang esok hari yang jauh lebih menenangkan.