Kacang Rebus dan Hal-hal Murni Lainnya


Pagi itu matahari belum sepenuhnya hangat, tapi sudah cukup untuk membuat bayangan kami jatuh panjang di jalanan menuju rumah Lek Warsih. Kami datang berlima—aku, bapakku, ibuku, Nana istriku, dan Iliana, anakku yang baru belajar mengucap nama bunga dengan nada puisi. Rumahnya sederhana, seperti potongan dari masa lalu yang menolak berubah. Warung kecil di depannya dipenuhi warna—bungkus-bungkus bumbu dapur menggantung seperti bendera dari negeri asing yang belum pernah kudatangi. Di tengahnya, Lek Warsih duduk dengan tenang, seperti tokoh sampingan dalam mimpi yang tak pernah bisa kau ingat sepenuhnya saat bangun.

Kami mengobrol. Tentang hidup, tentang cuaca, tentang bagaimana waktu bisa terasa begitu cepat tapi juga begitu lambat. Bapakku tertawa kecil sesekali, ibuku sesekali menimpali dengan gumaman yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang telah lama hidup bersama. Nana duduk mendekap Iliana yang sibuk menunjuk satu per satu benda asing di rak kaca, matanya penuh tanya. Dan seperti biasa, saat kami hendak pamit, Lek Warsih berdiri. Tangannya bergerak cekatan, tapi ada kelembutan dalam setiap gerakannya. Ia mengambil pisang matang dari gantungan, memasukkannya ke dalam plastik bening. Lalu bakso tahu, kacang rebus, kerupuk, bahkan beberapa bungkus bumbu dapur ia berikan.

“Nih, buat di rumah. Kamu juga dulu suka bakso tahu, kan?” katanya, seolah waktu tak benar-benar berlalu di hadapannya. Kami menerima tanpa banyak kata. Ada sesuatu dalam pemberian yang tulus yang membuat kata-kata terasa berlebihan. Di mobil, dalam perjalanan pulang, Iliana tidak tertidur dengan satu tangan masih memegang es krim. Di kursi belakang, bapakku memandangi keluar jendela seperti sedang membaca masa lalu yang tertulis di langit. Rasanya seperti baru kembali dari tempat yang bukan hanya rumah seseorang—tapi rumah dari sebagian diriku sendiri.

Dan aku tahu, hari itu bukan hanya tentang kunjungan ke rumah Lek Warsih. Itu tentang ingatan. Tentang warung kecil yang menyimpan cinta dalam bentuk paling sederhana. Tentang bagaimana, di tengah dunia yang terus bergerak, selalu ada seseorang yang akan memberimu kacang rebus dan senyum, tanpa pernah kau minta.

Dan di tengah semua itu, aku belajar sesuatu yang barangkali tak akan pernah diajarkan oleh buku manapun—bahwa kebaikan yang paling murni sering datang dari tangan yang lelah karena bekerja, dari orang-orang yang tidak banyak bicara soal cinta tapi menunjukkannya lewat pemberian-pemberian kecil yang tulus. Bahwa pulang bukan soal jarak, melainkan tentang perasaan diterima, dikenang, dan diingat dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidup kita—dan tetap memilih untuk menjadi bagian itu, lagi dan lagi, tanpa pamrih.