Malam yang Tak Selesai


Hari ini aku pulang paling akhir. Hampir. Pak Bambang masih sibuk mengutak-atik laporan keuangan, dan Iqlima baru saja menyimpan laptop ke rak sebelum mengenakan jaket dan melambai singkat padaku. Aku sendiri menyempatkan mampir ke bagian umum. Ada Badra, Chamdan, Ariza. Ariza masih tekun dengan komputernya, jari-jarinya menari pelan di atas keyboard seperti tengah memainkan lagu yang hanya ia sendiri yang tahu nadanya. “Belum pulang?” tanyaku sambil menyandarkan tubuh ke meja. “Belum,” jawabnya tanpa menoleh. “Masih mau menyelesaikan satu hal lagi.” Aku mengangguk, meski ia tak melihat, lalu berlalu sambil menuntun sepedaku keluar dari gedung.

Angin malam menghembus pelan saat aku mengayuh sepeda keluar halaman kantor. Udara lembab, tapi hujan tak turun hari ini. Rasanya seperti hadiah kecil yang tak terduga—sebuah kemurahan semesta. Maka kuputuskan untuk pulang dengan bersepeda. Kadang-kadang rasa syukur itu cukup diwujudkan dengan mengayuh pelan di jalanan yang lengang, memerhatikan kehidupan berjalan tanpa harus ikut campur. Saat melintas depan Manahan, aku melihat seorang anak kecil mencium tangan ayahnya. Mereka berdiri di tepi trotoar, di bawah sorot lampu jalan yang mengguratkan bayangan panjang di aspal. Sang ayah membelai kepala anak itu pelan, lalu melepasnya pergi. Aku tak tahu mereka siapa. Tapi pemandangan itu membuat dadaku sedikit hangat.

Di jalanan, daun-daun kering berguguran seolah waktu salah musim. Entah musim kemarau akan datang atau musim penghujan belum ingin selesai. Aku merasa sedang berada di tengah-tengah sesuatu yang belum rampung. Seperti hidup yang menunggu titik, tapi terus menambah koma. Di sepanjang jalan Adi Sucipto, aroma kambing memenuhi udara. Penjual kambing berderet-deret, wajah mereka tabah seperti batu, menanti pembeli yang entah datang dari mana. Idul Adha memang tinggal sebentar lagi. Tapi yang lebih menarik bagiku justru penjual wedangan di dekat situ. Mereka tetap berjualan seperti biasa, tak terganggu oleh bau kambing atau suara binatang yang gelisah di kandang sementara.

Sampai di belokan Fajar Indah, di samping Hotel Adiwangsa, aku mencium aroma teh tarik dari kedai kecil favoritku: Marani. Aromanya seperti ingatan yang sengaja dipanggil kembali. Hangat, manis, dan agak pahit di ujungnya. Di pertigaan, kulihat seorang bapak supeltas masih setia mengatur lalu lintas, meski kendaraan sudah jarang lewat malam itu. Ia berdiri tegak dengan rompi hijau menyala, seolah menjadi satu-satunya pengawal lalu lintas di dunia yang sedang sekarat ini. Setelah lapangan Baturan, gelap menyelimuti jalanan. Lampu-lampu jalan entah kenapa tak menyala. Jalannya juga penuh lubang. Lampu sepedaku mulai meredup. Aku agak khawatir. Tapi dari seberang, kulihat seorang ibu-ibu tua juga sedang mengayuh sepeda. Tanpa lampu.

Sampai di tugu Boto, aku mencium aroma asap sate ayam. Itu warung langgananku. Sate Madura, dagingnya empuk, bumbunya pekat. Penjualnya tak berubah sejak dulu, masih dengan logat Maduranya yang tebal dan sapaan yang hangat. Tapi aku tak berhenti. Malam sudah terlalu dalam dan tubuhku sudah ingin pulang. Di tikungan terakhir, kabel listrik melintang di jalan. Jatuh begitu saja, tersangkut entah di mana, seperti peringatan kecil bahwa bahkan infrastruktur pun bisa menyerah pada gravitasi. Akhirnya aku sampai di rumah. Iliana membuka pintu, senyumnya mengembang seperti cahaya dari lentera kecil. Di wajahnya, tak ada pertanyaan, tak ada keluh. Hanya senyum yang tenang. Dan seluruh lelah yang aku bawa dari perjalanan panjang itu, lenyap.