Memaknai Potongan Lirik Lagu Menunggu Giliran


“Ke mana / Arah pulangmu / Ke mana / Ajal menuju / Jika kau tak lagi percaya” — lima baris ini seperti gema sunyi dari sebuah batin yang berada di ambang kehilangan paling hakiki: kehilangan kepercayaan. Pertanyaannya terdengar sederhana, bahkan lembut, namun justru di situlah letak kekuatannya. Ia tidak datang dengan teriakan, melainkan dengan lirih yang menggetarkan. Seakan-akan yang berbicara bukan hanya satu jiwa, melainkan banyak, entah berapa, yang telah lama memendam kekosongan serupa.

Pertanyaan “ke mana arah pulangmu” bukan tentang tempat, bukan tentang koordinat fisik. Ia adalah pertanyaan tentang orientasi hidup—tentang makna yang dulu dianggap pasti, dan kini terasa seperti kabut. Pulang di sini adalah simbol dari tujuan, dari asal, dari sesuatu yang memberi rasa lengkap. Ketika seseorang tidak tahu harus pulang ke mana, itu berarti ia telah terlepas dari titik pegangan paling dalam: identitas, keyakinan, arah batin.

Lalu muncul pertanyaan lanjutan: “Ke mana ajal menuju?” Pertanyaan ini membalik logika umum. Biasanya, ajal adalah titik akhir yang pasti, garis batas yang menutup perjalanan. Namun di sini, bahkan ajal pun menjadi entitas yang tersesat. Kematian tidak lagi berarti apa-apa. Ia kehilangan posisinya sebagai penutup yang bermakna, sebagai gerbang menuju sesuatu yang lebih besar. Tanpa kepercayaan, kematian hanyalah peristiwa kosong—sekadar berhentinya fungsi tubuh, tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa gema.

Baris terakhir menjadi pusat gravitasi dari seluruh lirik: “Jika kau tak lagi percaya.” Inilah sebab dari semua kehilangan arah sebelumnya. Tidak ada jawaban besar di sini—hanya pengakuan yang diam: bahwa ketika kepercayaan hancur, maka semua yang bergantung padanya ikut runtuh. Arah, tujuan, makna hidup, makna mati—semuanya luruh. Maka bukan hanya tubuh yang kelelahan, tapi eksistensi itu sendiri menjadi lelah karena tak punya sandaran.

Namun, lirik ini tidak menggiring kita pada keputusasaan yang kasar. Ia tidak melontarkan caci atau kemarahan. Justru dalam kelembutannya, ia terasa lebih mengguncang. Karena ada semacam keheningan getir yang menyelimuti pertanyaan-pertanyaan itu. Seperti seseorang yang telah lama menanggung luka, dan kini hanya bisa bertanya—bukan karena ingin dijawab, tapi karena hanya dengan bertanya, ia bisa tetap merasa hidup.

Lirik ini tidak menawarkan penghiburan, tidak menjanjikan harapan. Tapi justru di sanalah nilai kejujurannya. Ia tidak pura-pura tahu arah. Ia tidak berpura-pura percaya. Ia hanya menunjukkan sebuah ruang batin yang benar-benar kosong, dan membiarkan kita berdiri di dalamnya.

Dan mungkin di zaman ketika banyak orang kehilangan makna, tapi enggan mengakuinya, lirik semacam ini menjadi semacam cermin—diam, namun tegas—bahwa yang hilang bukan hanya jawaban, tapi kemampuan untuk bertanya dengan jujur. Dan bahwa dalam keberanian untuk bertanya, mungkin, ada sebersit harapan yang belum padam sepenuhnya.

https://youtu.be/eIwQCXgYQ4Q?feature=shared