Ngaji Filsafat Mengubah Cara Pandangku tentang Diri Sendiri


Sore ini, aku menghabiskan waktuku di depan dua monitor, menjadi operator slide untuk Instagram Live Kanwil DJP Jawa Tengah II. Monitor kiri menampilkan angka-angka seperti mantra pajak yang terus berputar di kepalaku, sementara monitor kanan menampilkan Google, tak pernah bosan menawarkan semesta jawaban atas hal-hal sepele maupun esensial. Aku menyentuh tombol panah dengan hati-hati, memastikan setiap transisi slide sehalus hembusan napas. Kadang, hidup memang sesederhana menjaga ritme sebuah presentasi.

Jemariku terus menari di atas keyboard, sementara pikiranku melayang ke luar jendela yang tak ada. Suara samar rekan kerja di belakang hanya jadi gema jauh yang tak perlu dimengerti. Di dalam diriku, ada sesuatu yang lebih sunyi dari ruangan ini — seolah tubuhku ada di sini, tapi kesadaranku tengah menyusuri lorong-lorong dalam yang tak kasatmata. Mungkin itu yang disebut “rasa”. Mungkin itu panggilan yang hanya bisa didengar saat segala kesibukan menyusut.

Setelah pekerjaan selesai dan matahari jatuh perlahan di balik atap kantor, aku menuju stasiun. Di dalam kereta menuju Yogyakarta, aku duduk berhadapan dengan semangkuk odeng Indonesia. Hangatnya menguap ke wajahku, seperti kenangan masa kecil yang mendadak muncul entah dari mana. Di luar, pepohonan dan rumah-rumah berlari mundur. Semua tampak berjalan tapi sesungguhnya aku yang bergerak. Atau mungkin tidak juga. Mungkin hanya pikiranku saja yang pindah dari satu keadaan ke keadaan lain.

Setibanya di Masjid Jenderal Sudirman, aku disambut oleh kesunyian yang mengalir seperti air jernih dari pegunungan. Kipas angin di langit-langit berputar lambat, seolah menunggu napasku menjadi selaras dengannya. Aku duduk bersila, membiarkan suara Dr. Fahruddin Faiz masuk perlahan ke telinga dan hati. Malam ini, kajian filsafat membahas guru sejati dalam tradisi Jawa. Bukan sosok luar, tapi kesadaran batin yang tersembunyi, yang hanya bisa ditemukan oleh jiwa yang jernih.

Ia bukan manusia, bukan suara keras yang memerintah. Guru sejati adalah rasa — bukan rasa yang dilatih oleh logika, tapi rasa yang lahir dari keheningan. Ia tahu kapan kita menyimpang. Ia gelisah jika kita bohong, dan tenteram bila kita jujur. Ia bukan penilai moral seperti guru sekolah, tapi kompas batin yang menunjuk ke arah cahaya. Di sana, dalam suluk Wujil dan Serat Kalatidha, kusemak makna tentang betapa suara hati adalah pancaran Tuhan dalam diri. Rasa itu guru. Rasa itu jalan pulang.

Malam makin larut, dan aku berjalan kaki ke Emilia Homestay, malam ini aku bermalam disini. Angin Yogyakarta seperti biasa, pelan dan menyusup sampai ke tulang. Aku tidak banyak bicara dalam perjalanan, hanya mendengar langkah kaki sendiri dan gema dalam dada. Setiap pengalaman hari ini — dari monitor yang sibuk, perjalanan kereta, hingga pengajian malam — terasa seperti satu utuh fragmen perjalanan Bima mencari Banyu Perwitasari. Guru sejati itu bukan ditemukan di luar, tapi di dalam, dalam sunyi yang menajamkan rasa.

Sesampainya di kamar, aku meletakkan tasku, lalu merebahkan badan. Iliana, anakku, menoleh pelan, lalu tersenyum setengah mengantuk. Dalam senyum itu, aku melihat cahaya yang sama dengan yang dibicarakan dalam kajian tadi. Bukan cahaya lampu, tapi cahaya rasa. Ia murni, ia tenang. Aku tidak perlu memahami semuanya secara intelektual — karena kebenaran sejati tak selalu bisa dijelaskan. Kadang cukup dirasakan, dan diheningkan.

Hidup ternyata bukan soal banyaknya yang kita ketahui, tapi sejauh mana kita mampu mendengarkan rasa yang halus di dalam dada. Guru sejati itu hadir bukan dalam bentuk sosok bijak atau buku tebal, tapi dalam setiap detik kita memilih untuk jujur, ikhlas, dan sadar. Rasa itu seperti sungai sunyi yang mengalir di dalam batin. Bila kita bersih, ia akan menuntun ke samudra kebenaran. Bila kita keruh, kita hanya akan berputar-putar dalam gelisah. Maka, menyucikan hati dan menajamkan rasa bukan sekadar jalan spiritual — tapi satu-satunya jalan untuk benar-benar pulang.